Author:
Ditdit Nugeraha Utama
@Göttingen,
Germany
Bismillah…
"Sesungguhnya,
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) ALLAH dan (kedatangan) hari kiamat dan yang
banyak mengingat ALLAH" (Q.S. Al-Ahzab[33]: 21)
Aku
duduk di samping perempuan Turki berjilbab di sebuah bus menuju centrum. Di dua
bangku depan yang menghadap kami, anak laki-lakinya - yang kira-kira berumur
tiga atau empat tahun – duduk menghadap ibunya dengan manis; sambil memegang es
krim di tangan kanannya. Di sebelahnya, duduk seorang ibu-ibu bule separuh
baya.
Selang
tak berapa lama, es krim yang dimakan si anak kecil lucu ini menetes – hanya
setetes kecil – dan mengenai tas kain si ibu-ibu bule yang duduk di samping
sebelah kanannya. Si perempuan Turki ini spontan mengeluarkan saputangan dari
tasnya, dan menuangkan sedikit – asal basah – air mineral di atas sapu tangan
tersebut. Lalu sepintas mata, perempuan itu meminta maaf atas ulah si anak
kecilnya itu; sembari membersihkan cipratan es krim strawberry – yang hanya
setetes itu – yang dimakan si anak kecil berhidung mancung tersebut.
Ibu-ibu
bule hanya tersenyum, sambil berujar ‘keine
problem’ (tidak masalah), dan membiarkan tas kainnya dibersihkan perempuan
Turki yang merasa sangat bersalah tersebut; lalu ibu bule ini pun – malah – mencium
lembut kepala si anak tersebut. Sebuah cuplikan scene teladan luhur yang ditunjukkan oleh seorang perempuan muslim
di tengah-tengah phobia masyarakat eropa atas umat Islam.
Aku
menjadi teringat dan alam lamunku menerawang jauh ke enam belas tujuh belas
abad yang telah silam, bahwa Islam dikembangkan oleh Rasul dengan kharisma dan
keteladanan yang sangat agung. Islam menyebar ke
seantero dunia dengan keteladanan yang luhur yang Rasul contohkan; yang Rasul contohkan bukan hanya pada ibadah ritualnya semata, namun seluruh aspek berkehidupan ibadahnya yang berdimensi sangat luas, yang telah tersajikan jelas pada sunnah-sunnahnya. Islam
tidaklah disebarkan lewat perang atau agresi militer. Islam tidak mengenal
kekerasan; namun Islam pantang surut ke belakang – walau hanya satu hasta –
jika musuh menghadang. Kekuatan militer Islam – waktu itu – hanyalah
dipergunakan untuk pertahanan, bukan untuk penghancurleburan; terbukti bahwa
peperangan yang terjadi di jaman Rasul, pada umumnya terjadi di dalam kota di
mana umat Islam berdomisili; secara akal, tidak mungkin jika Islam menyerang, secara
logika pula, umat islamlah yang diserang. Namun ketegasan adalah karakter
militansi umat Islam. Karena, terkadang kita butuh ketegasan yang nyata, untuk
menggoreskan garis furqon pembeda atas akidah yang diyakini; dalam rangka
menegakkan kebenaran hakiki ILLAHI.
Alhamdulillah…