Jumat, 27 Desember 2013

Vienna, Cukup! Walau Hanya Empat Hari Tiga Malam

@Vienna, Austria

Bismillah...
Praha di Czech Republic dan Vienna di Austria, adalah dua kota yang berebut hati para pelancong dunia untuk menjadikan dirinya sebagai jantung Eropa. Syukurku tak terkira, bahwa aku telah diberangkatkan oleh ALLAH ke kota Praha pada beberapa bulan yang lalu; pun, syukurku kepada ALLAH terus aku semayamkan tanpa henti, karena – akhirnya – aku – pun – dilabuhkanNYA di kota cantik Vienna, Austria. Empat hari tiga malam aku berada di kota ini, telah cukup untuk menelusuri kota yang penuh dengan bangunan angkuh nan eksotis ini, yang – kadang – membuat decak atas kagum dari para pengunjungnya.

Menyebrang Jalan di Kota 'Mati Suri'

Membidik dan Dibidik Vienna

Aku hadir di kota Vienna ini bertepatan dengan hari-hari perayaan natal. Sehingga, membuat kota menjadi seperti kota mati – suri – saja; jika tidak ingin disebut ‘mati beneran’. Kendaraan dan moda transportasi umum – pun – tidak banyak yang hilir dan mudik. Begitu juga dengan tetokoan, banyak yang mengambil keputusan untuk tutup dan berlibur; kecuali beberapa resto yang setia melayani para pelancong dan turis dari berbagai negara tersebut. Beruntung sekali, masih ada beberapa resto halal yang masih beroperasi; sehingga aku tidak sempat kelaparan seperti yang aku alami di Zurich – Switzerland beberapa waktu lalu.

Terasa Agak Penuh Dekat Westbahnhof

St. Stephen’s Cathedral, Karlskirche, State Opera, Hofburg Palace dan masih banyak – lagi – lainnya; adalah berbagai tempat yang sempat aku kunjungi. Hanya dengan membeli tageskarte (tiket satu hari), aku bebas menelusuri setiap jengkal kota ini dengan menggunakan u-bahn, trem atau hanya sekedar berjalan kaki. Tak lupa juga aku mengunjungi pusat islam (islamic center) sekaligus masjid terbesar di Vienna. Berbincang dengan imam masjidnya, adalah hal yang sangat mengasyikan. Aku menjadi lebih tahu berapa banyak dan seperti apa kehidupan orang islam di negara ini; dan tentunya, oleh-oleh buku islam yang jumlahnya tidak sedikit, telah – berhasil – memenuhi tas koperku.

Lampion Merah di Sekitar Stephen's Cathedral
(Salah Satu Foto sebagai Juara II Kejuaraan Fotografi di Göttingen dengan tema Low Light Photography)

Pesta itu Telah Usai
(Salah Satu Foto sebagai Juara II Kejuaraan Fotografi di Göttingen dengan tema Low Light Photography)

Kegemaran berfotoku pun telah aku salurkan disini. Nuansa dan red view yang menjadi ornamen pelengkap gemerlap natal pun menambah meriah kota Vienna ini. Walau pun pasar natal telah usai, namun atribut-atributnya – tetap – mampu menyambut kedatanganku di kota ini dengan penuh suka dan cita.

Itulah sekelumit kata dari ku mengenai si cantik Vienna. Alhamdulillah dan guratan aksi nyata untuk kebajikan alam dan seisinya, adalah tuntutan berikutnya yang harus aku penuhi; dalam rangka mengoptimalkan rasa syukurku kepada ZAT yang telah menghadirkan ku disini, ALLAH Azza wa Jalla. Terima kasihku ya ALLAH atas semua ini. Terima kasih...


Alhamdulillah...

Kamis, 05 Desember 2013

Loh, Katanya Phobia...

@Göttingen, Germany

Bismillah...
Islamphobia terus dihembuskan oleh kaum yang tidak menginginkan Islam ada sebagai sebuah ideologi; baik ideologi individu, komunitas, apalagi bangsa atau negara. Kaum ini terus menyulutkan kebencian terhadap Islam dengan propaganda negatif akan Islam. Eropa, termasuk kawasan yang sangat terasa kental sekali kephobiaannya terhadap Islam.

Aku tidak akan sebutkan secara eksplisit mengenai berbagai jenis reaksi nyata sikap kephobiaan tersebut. Biarkan saja. Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu dari sisi lain, mengenai apa yang aku alami saja. Di Jerman, beberapa minggu ke depan ini akan – kembali – memasuki musim dingin. Musim dimana suhu udara bisa mencapai lima, sepuluh bahkan lima belas derajat celcius di bawah nol. Sangat dingin menusuk ari. Selain pula berasa malam terus-menerus, itu yang aku rasakan. Waktu gelap matahari – memang – lebih panjang. Bagi yang suka solat qiyamulail, kita – kadang masih – bisa melakukannya pada pukul 06.00, karena – bisa saja – waktu subuh akan masuk di pukul 06.30; itu pun – padahal – setelah waktu Jerman (secara keseluruhan disebut Western European Time Zone) kembali bergeser / berkurang 1 jam dari biasanya (di waktu winter perbedaan waktu Indonesia dengan Jerman menjadi 6 jam, tadinya 5 jam), karena berakhirnya waktu summer (atau istilahnya the end of daylight saving time). Sedangkan waktu maghrib datang lebih cepat, di pukul 16.20 bisa jadi waktu solat maghrib telah tiba.

Efek lain tentunya adalah cara berpakaian. Cara berpakaian ini, untuk kaum yang Islamphobia – pun – digadang-gadang – sehingga harus – menjadi masalah. Maklumlah, mereka ter-setting kepala dan jiwanya, agar membenci Islam dari berbagai aspek; agar Islam sebagai sebuah ideologi benar-benar harus tercabut sampai ke akar rumputnya. Lalu, bagaimana dengan Eropa pada musim dingin ini? Konon hijab – makanya dilarang karena – dianggap sebagai budaya Islam, maka harus tercabutkan. Kok, mereka sekarang berhijab ya? Bahkan telapak tangan pun, salah satu bagian yang boleh nampak pada seorang perempuan, tertutup dengan sangat rapatnya. Jangankan tatapan mata, atau ciuman hidung; kalau bisa udara pun tidak boleh menyentuh pori-pori badannya. Hanya muka saja yang masih nampak. Mereka – tidak hanya perempuan – benar-benar berpakaian syar’i pada winter ini.

Alasan logis? Bahkan hijab – dalam Islam – sebagai penutup aurat perempuan jauh lebih beralasan logis. Islam sangat mengagungkan kaum perempuan, karena perempuan adalah sekolah pertama bagi bangsa dan umat. Ibulah (perempuan) yang disebutkan pertama sampai tiga kali oleh Rasul untuk kita berbakti, sebelum rasul menyebut Bapak (laki-laki). Islam sangat menjaga kaum perempuan, dengan caranya yang sangat sempurna. Islam menjaga perempuan dari berbagai aspek, baik lahir maupun bathin. Bahkan sampai level terdetail sekali pun, yaitu menutup auratnya; dalam rangka menjaga setiap bagian jengkal fisik perempuan tersebut. Untuk hal ini, aku pernah mendengar sebuah percakapan – yang cukup menginspirasiku – pada sebuah film karya Dedi Mizwar, ketika seorang buta berbincang dengan seorang perempuan. Si Buta bertanya kepada perempuan tersebut, ‘Mba kok tidak menggunakan jilbab?’. Si Mba – yang memang tidak berjilbab – tersebut bertanya dalam heran, ‘Loh, dari  mana Bapak tahu bahwa saya tidak berjilbab? Sedang Bapak – maaf – tidak bisa melihat’. Lalu si Buta itu menjawab sambil berlalu, ‘Wangi rambutnya tercium Mba..’.

Itulah Islam. Sempurna, komprehensif dan sangat holistik. Hanya akal kita – kadang – tidak kita gunakan secara optimal untuk menalar, yang memungkinkan – naudzubillah min dzaik – akan terus menggerus kadar keimanannya. Padahal, akallah yang memungkinkan manusia berbeda dengan makhluk ALLAH lainnya. Padahal, akallah yang akan mengangkat kedudukan manusia-manusia beriman beberapa harkat.

Itulah Islam. Bahkan hijab telah ada dalam rencana terstruktur dan indah dari ALLAH. Walaupun alasannya karena musim dingin, tidak mengapa. Karena manusia butuh alasan logis untuk mengambil sebuah keputusan penting. Jadi biarkanlah musim winter ini menjadi alasan logis para penduduk Eropa untuk berhijab, walau dengan cara mereka sendiri. Loh, katanya phobia...


Alhamdulillah...

Bus yang Sopan dan Teratur

@Göttingen, Germany
Related article (klik disini)

Bismillah...
Suasana di Dalam Bus
Orang-orangnya begitu terkontaminasinya dengan minuman keras; karena – mungkin – bir telah menjadi minuman pokok kedua setelah wine; karena – pula – hampir setiap minggunya ada pesta bir di berbagai tempat yang dilegalkan oleh pemerintah setempat. Kebanyakan dari mereka pun telah meninggalkan kehidupan beragamanya, dan beralih menjadi tidak bertuhan, atau dalam bahasa kerenya atheis. Bahkan, sebagian dari mereka memiliki pola pikir tajam dan sangat terstruktur, namun hanya – mentok – sebatas pada kehidupan duniawi saja, tanpa pernah terpikirkan di kepalanya akan skenario akhirat. Namun, disini, di tempat yang masjid pun sulit untuk dijumpai, bus, yang menjadi salah satu moda transportasi dalam kotanya, terlihat sangat sopan dan teramat sangat teratur.

Ya. Sopan dan teratur... Setidaknya, itulah yang ada di relung kepalaku. Kok bisa ya? Padahal, kontaminasi negatif akan kehidupan nan fulgar telah menggerogoti hampir 100% pola kehidupan masyarakatnya. Nalar! Itulah jawabannya. Akal! Itulah jawabannya. Kota ini dibangun di atas pondasi sistem berdasarkan nalar atau akal manusia yang nyata. Aspek-aspek reaksi manusia terhadap manusia lain, lingkungan dan alam; berusaha diimplementasikan – seoptimal mungkin – dengan sangat logis dan masuk akalnya.

Anak-anak Kecil Belajar Baris Masuk ke Bus
Bus yang sopan dan teratur, inilah contoh yang ingin aku gorestintakan pada tulisan blog-ku kali ini. Bus-bus itu akan berhenti, di setiap lampu merah; menyerobot lampu merah adalah sebuah pelanggaran yang sangat luar biasa berat dan memalukan. Bus-bus itu akan menunggu, yaa menunggu; di saat ada penyebrang jalan yang sedang atau akan menyebrang melalui zebra cross di hadapannya; bukan sebaliknya, dimana penyebrang jalan yang harus tengok kanan dan kiri untuk menyebrang jalan; bahkan anak-anak kecil bisa dengan santainya menyebrang jalan dan lepas dari pengawasan orang tuanya, dan dengan penuh hormat bus-bus itu akan menunggu. Bus-bus itu akan mengikuti kayuhan pengendara sepeda di belakangnya, sampai bus tersebut berhenti di halte yang telah ditentukan; tidak lantas menyerobot sepeda tersebut dan menikungnya karena dia harus berhenti di halte. Bus-bus itu akan selalu on time datang dan pergi, sesuai dengan jadwal yang ditentukan, dan sampai ke halte berikutnya dengan sangat presisi waktu. Bus-bus itu memiliki fasilitas khusus untuk para manula dan orang-orang disabilitas; bahkan bus tersebut mampu menunduk (miring) dan mempersilahkan para manula dan orang-orang disabilitas untuk naik dan turun bus tersebut tanpa mengalami kesulitan; termasuk fasilitas tempat duduk bagi para manula dan orang-orang disabilitas tersebut, yang disesuaikan desainnya. Bahkan fasilitas khusus bagi pembawa dorongan bayi dan sepeda di dalam bus pun tersedia lengkap. Bus-bus itu dapat mengatur suhu ruangannya tetap stabil, tidak terpengaruh – sedikit pun – akan suhu musim summer atau winter. Satu hal yang pasti, bus-bus itu teradakan dikarenakan sebuah optimalitas nalar dan akal manusia yang kemudian diimplementasikan di atas sebuah sistem sebagai penjaga kekonsistensian dan keteraturannya.

Logis saja dulu, semua akan terasa nyaman. Logis saja dulu, semua akan terasa elegan. Logis saja dulu, semua akan terasa seimbang dan penuh ketaraturan pada akhirnya. Apalagi, setelah itu semuanya tersandarkan pada kelogisan yang islamis, ya sebuah kondisi logis islamis; dimana islam – diakuisisi – sebagai benteng controlling atas kebenaran pada kelogisan nalar dan akal yang diimplementasikan tersebut; sehingga, kelogisan nalar dan akal tersebut akan bermakna ganda di mata ALLAH pada akhirnya...


Alhamdulillah...

Sabtu, 12 Oktober 2013

Proses Benar nan Sistemik, Itulah Inti Ibadah…


@Göttingen, Germany

Bismillah…
Kadang menyedihkan, namun aku terus mengikuti perkembangannya. Kadang mendatangkan harapan, namun – setelah itu – hanya dalam sekejap mata kembali sirna. Kadang mendatangkan decak kagum, namun kehandalan dan kekuatan sistem kadang dilupakan pada akhirnya. Namun hari ini, aku bisa tersenyum dan menangis haru; akhirnya momen itu datang juga, akhirnya, usaha optimal dengan cara sistemik yang sangat padu menunjukkan buah hasil yang – luar biasa – manis. Adik-adikku, selamat; semoga ini salah satu cahaya kebangkitan itu. Jangan pernah ragu untuk terus bersujud syukur, ketika goal-goal mampu kamu sarangkan ke gawang musuh; siapa pun itu lawannya. Aku tak hadir langsung di hadapanmu, namun gegap gempita pendukungmu di gelora Bung Karno sangat aku rasakan, walau aku berada jauh ribuan kilometer dari arena perang itu.


Aku mengikuti sangat  tim ini; mengikuti para cikal yang masuk ke dalam kesebelasan Indonesia under 19. Sebuah kesebelasan yang memang dipersiapkan secara sempurna pada ukuran logis akan kesempurnaan usaha manusia; dan memang seperti itulah yang seharusnya dilakukan. Sebuah kesebelasan yang digali dari bibit unggul dari semua pelosok anak negeri dengan keriteria dan indikator yang sangat ketat, yang dicanangkan pelatih tanpa ada titipan politis sedikit pun; dan memang seperti itulah yang seharusnya dilakukan. Kecerdasan, visi, postur, skil, kekuatan fisik dan mental, merupakan sebagian parameter yang dapat diukur untuk menciptakan pemain-pemain yang berkaliber militan dan mumpuni; proses pemulihan fisik dan genjotan mental yang dilakukan tim pelatih secara sistemik, berkala dan berkesinambungan, secara konsisten dan istiqomah, lebih hampir dari 5 tahun; menjaga kualitas asupan gizi makanan dan minuman dengan didampingi para pakar yang paham sekali akan ilmunya, dilakukan dengan sangat seksama dan tepat sasaran; adalah serangkaian hal-hal logis yang memang seharusnya dilakukan. Dan pada akhirnya, semua – usaha yang seharusnya dilakukan – itu telah menemani catatan sejarah indah – yang sangat langka – ini. Sejarah indah yang telah menenggelamkan sejarah kelam dan buruk.

Itulah inti perjuangan yang harus digarisbawahi. Bukan hasil dan prestasi yang menjadi orientasi utama yang seharusnya didiskusikan, dibicarakan dan diperdebatkan; tetapi fokus dan hanya fokus serta terus berbenah pada metode dan cara atas segala ‘apa yang harus dilakukan‘ oleh anak-anak Adam. Karena kita hanyalah manusia, yang – sangat – diwajibkan untuk terus berusaha sekuat tenaga dengan akal, jiwa, raga, ilmu, kemampuan dan etos kerja berbasiskan sistem yang tertata kelola dengan sangat apik; dan – lalu – biarkan ALLAH dengan hakNYA memberikan hasil dan prestasi itu kepada kita. Dan, kesebelasan Indonesia under 19 dengan perangkat tim anak-anak muda nan brilian ini, serta seluruh perangkat tim pelatihnya, yang dikemas dalam sebuah sistem nan padu tanpa intervensi orang-orang tak bertanggungjawab; telah mampu menunjukkan itu, menunjukkan sebuah keniscayaan bahwa bersyaratlah untuk berprestasi – bukan berprestasi tanpa usaha dan pemenuhan syarat – harus menjadi orientasi utama semua insan manusia. Penuhilah – saja – semua ‘yang harus dilakukan‘ dengan benar dan sistemik; serta – pada akhirnya di level keikhlasan yang sangat tinggi – biarkanlah ALLAH menentukan hakNYA atas hasil dan prestasi itu. Karena, bersyarat dan mengoptimalkan semua usaha kita secara manusiawi berbasiskan kelogisan, adalah inti dari ibadah itu sendiri.

Selamat Indonesia, semoga ini semua terjaga keistiqomahannya, semoga ini membuka wahana berfikir kita; bahwa melakukan hal seoptimal mungkin untuk berprestasi, akan jauh lebih penting dari prestasi itu sendiri; karena prestasi bukanlah urusan kita (it’s not our business); prestasi hanyalah hak ALLAH yang akan diberikan kepada setiap kita yang DIA inginkan. Karena – pula, ketika proses dan segala hal yang dilakukan telah menjadi orientasi utamanya; tidak akan pernah ada pengagungan yang berlebih atas prestasi yang digapai, dan tidak akan pernah – pula – ada hujatan yang menyayat hati ketika kegagalan tidak berhasil direngkuh…

Alhamdulillah…

Rabu, 02 Oktober 2013

Berlin, Jepret... Jepret...


@Berlin, Germany

Bismillah…
Saat ini aku hanya ingin berbagi hasil jepretanku selama aku di Berlin. Ini kali kedua aku berada di kota yang ber-image seram – namun tidak seram lagi – ini. Aku menghabiskan kurang lebih sembilan jam di kota ini. Hanya untuk melihat-lihat dan mengabadikan beberapa momen dan sudut kotanya dengan menggunakan kamera DSLR ku; dimana, aku memulai aktivitasku dengan mengunjungi tempat makanan halal di sekitar kawasan Turmstraße, dan menyantap makanan bermenu ayam gorang nan renyah. Kebetulan, di saat aku berkunjung, di Berlin sedang ada perlombaan marathon dan sepatu roda; sehingga beberapa jalur bus dan metro (atau U bahn) sempat dialihkan, sehingga – pula – aku harus menyusuri beberapa tempat dengan berjalan kaki. Aku pun berhasil mengabadikan momen perlombaan bersepatu roda tersebut dengan menggunakan teknik blurring dan panning; sebuah teknik freeze objek berjalan, dimana background lain akan menjadi blur dibuatnya. Begitu juga dengan gerbang Brandenburg – yang terletak di antara Pariser Platz dan Platz des 18 März atau di sekitaran persimpangan Unter den Linden dan Ebertstraße – berhasil aku jepret gambarnya. Selain itu, Aku pun tidak luput mengabadikan beberapa gambar gedung yang ada di Potsdamer Platz, sebuah kawasan atau lapangan kota di tengah kota Berlin; dan juga gedung parlemen Reichstag, sebuah gedung bertuliskan Dem Deutschen Volke (Indonesia: Kepada Rakyat Jerman).

Brandenburger Tor
Mendung di atas Brandenburger Tor
Gedung Parlemen Reichstag
Potsdamer Platz
Sang Juara Blurring - Panning
Lagi, lagi dan lagi. Sebuah perjalanan mengasyikkan yang tidak pernah terbayangkan di alam pikirku ini. Sebuah perjalanan penuh hikmah. Sebuah perjalanan yang hanya bisa dibalas dengan syukur yang sangat. Bukan hanya syukur di ucap, namun pula syukur pada etos tindak harian kita. Terima kasih ya ALLAH atas semua indah ini…

Alhamdulillah…


Selasa, 01 Oktober 2013

Grenzlandmuseum, Museum Tapal Batas Jerman


@Duderstadt, Germany

Bismillah…

Cerita tentang Jerman Barat dan Timur – dengan cukup gamblangnya – terjawab sudah pada akhirnya; setelah aku mengunjungi museum Grenzlandmuseum di daerah Duderstadt, Jerman; sebuah kota bernuansa tua pada jarak sekitar 30 kilometer arah timur dari kota Göttingen. Awalnya, aku mengira bahwa Brandenburger Tor (Gerbang Brandenburg) yang berada di Berlin adalah simbol atau gerbang tapal batas antara Jerman Barat dan Timur; secara de jure betul, bahwa sisi barat tembok berlin adalah termasuk otoritas Jerman Barat dan sisi timurnya adalah masuk otoritas Jerman Timur, dimana tujuan pendirian tembok Berlin itu sendiri untuk memisahkan bagian Jerman yang dikontrol oleh Soviet dan oleh negara-negara barat; namun, secara de facto, sebenarnya seluruh kota Berlin itu sendiri berada di wilayah Jerman Timur, yang secara teknis termasuk daerah okupasi Soviet. Jerman itu sendiri sebelumnya terkoyak wilayahnya menjadi empat bagian okupasi; yaitu wilayah okupasi Soviet, Amerika Serikat, Inggris dan Perancis (1945 – 1948); sedangkan pemisahan Jerman Barat dan Timur itu berlaku mulai tahun 1949; dan kembali melebur menjadi Jerman pada tahun 1990. Meleburnya dua kubu Jerman ini, ditandai dengan dibukanya kembali Gerbang Brandenburg oleh Helmut Kohl, Kanselir Jeman Barat pada waktu itu (tepatnya pada tanggal 22 Desember 1989).

Si Kota Tua Penuh Pesona
Sendiri di Kota Tua

Berjalan-jalan ke Museum Grenzlandmuseum dan kota Tua Duderstadt, membuat hasrat mengabadikan lewat kamera DSLR ku membuncah. Akhirnya aku berhasil mengelilingi pojok-pojok kota Duderstadt ini, dan berhasil membidik beberapa bagian kota tua ini.

Sekali lagi. Segala pujiku hanyalah untuk ALLAH semata, Tuhan segenap bumi dan langit serta segala yang ada di antaranya; atas seluruh nikmat yang berlimpah ini.

Alhamdulillah…

Kamis, 26 September 2013

Si Tua Berhati Islami...


@Prague, Czech Republic

Bismillah…
“Pada suatu ketika, seekor anjing mengelilingi sebuah sumur. hampir-hampir anjing itu mati kehausan. Tiba-tiba seorang wanita pelacur bangsa bani Israil melihatnya. Maka dilepaslah sepatunya, kemudian diambilkannya air dengan sepatunya, lalu anjing yang hampir mati itu diberinya minum. Maka ALLAH SWT mengampuninya dengan sebab itu” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Selepas aku dari pusat kota, hanya untuk sekedar melepas penat dan makan malam; seperti biasa aku harus kembali ke domitori kampusku dengan menggunakan metro (kereta bawah tanah) dan dilanjutkan dengan menggunakan bis. Metro yang harus aku naiki, harus melintasi setidaknya lima stasiun (dari stasiun Muzeum menuju Dajvická); beberapa jenis stasiun metro yang selalu aku lewati selama aku berada di kota Praha ini. Tidak ada yang aneh sebenarnya, pun tidak ada yang spesial yang bisa aku lihat; umumnya bernuansa dan bercita rasa biasa saja. Hanya saja, selama aku berdiri di atas metro ini, karena sesaknya penumpang yang baru pulang bekerja dan kuliah; aku memperhatikan seorang tua dengan seekor anjing yang dia gendong di pangkuannya. Anjing itu terdiam di pangkuan orang tua tersebut pada sebuah tempat – seperti tas – terbuat dari kain, dan sesekali si orang tua tersebut  mengelus-elus anjing tersebut dengan penuh kasih sayang. Anjing ini hanya berusaha untuk menjulur-julurkan lidahnya sambil menengok kiri dan kanan.

Perhatianku tertuju pada pemandangan itu – cukup – lama sekali. Satu hal sedang aku bayangkan; tentu, bukan anjingnya yang aku jadikan tema besar di ceritaku kali ini; namun, sebuah ketulusan seorang tua, yang mau dan mampu merawat seekor ‘anjing buta’. Ya, seekor anjing buta. Entah alasan apa yang ada di hatinya, sehingga dia mau merawat anjing tersebut; bahkan untuk berjalan saja, dia sedikit bersusah payah karena ujurnya. Karena alasan lucunya? Aku – sama sekali – tidak melihat sedikit pun kelucuan dari anjing yang seperti panik, menjulurkan lidahnya tanpa henti dan selalu menengok kanan dan kiri tersebut; dengan mata yang semuanya tampak putih dan menyeramkan, seperti  penampakkan monster di film-film fiksi penuh kebohongan itu. Atau untuk menjaga dirinya? Sepertinya agak tidak masuk akal dan berlebihan, seekor anjing buta mampu menjaga diri si pemiliknya; yang ada, pemiliknya hanyalah disibukkan dengan merawat si anjing itu.

Sekali lagi, bukan anjingnya yang menjadi perhatian lamaku, sehingga aku lupa bahwa stasiun Dajvická yang menjadi final destination station ku telah berhasil metro – yang aku naiki – ini gapai; karena anjing menurutku tetap saja merupakan binatang yang mengeluarkan zat air liur yang bernajis. Namun, apa yang terjadi dengan anjing itu? Jika saja dia ada di luaran sana tanpa dilindungi dan dirawat oleh sang pemilik berhati mulia tersebut. Mungkin anjing itu sudah tidak mampu untuk bertahan hidup.

Sebuah kisah kecil nan sederhana, yang ALLAH perlihatkan untukku. Sebuah kisah kecil namun mampu menarik perhatianku selama aku berada di atas metro. Seorang tua dengan kelembutan hati islami. Sebuah pertunjukkan film berdurasi pendek pada kehidupan nyata ini, yang mampu aku nikmati disini. Di sebuah kota dan negara, yang terasa cukup keras; di sebuah kota dan negara yang pengemudi bisnya lebih kasar di dalam mengendarai bisnya jika dibandingkan pengemudi bis di negara-negara asia timur sana; di sebuah kota dan negara yang konon para penduduknya merupakan pengkonsumsi alkohol terbanyak di dunia.

Adab berkehidupan yang mampu mempertegas untuk berlaku baik dan kasih serta sayang pada semua. Terlebih kepada manusia lain, dengan makhluk lain dan alam ini saja islam mengajarkan untuk menjadi rahmat, bukan perusak dan penjilat. Ya ALLAH, beri kesempatan kami untuk menjadi terbaik bagi sebanyak-banyaknya manusia lain dan alam ini…

Alhamdulillah…

Minggu, 22 September 2013

144 Jam di Praha

Author: Ditdit Nugeraha Utama
@Prague, Czech Republic

Bismillah…
Seratus empat puluh empat jam aku berada di kota ini. Praha (English: Prague), itu namanya. Sebuah kota terbesar di negara bertitel Republik Ceko (English: Czech Republic). Sebuah kota yang – sekuat tanaga mencoba untuk – berebut image sebagai jantung Eropa bersaing ketat dengan kota Vienna, Austria. Bangunan-bangunan klasik ala Eropa Timur – bargaya arsitektur Barok dan Ghotic – sudah mulai terasa di kota Praha ini, walau letak negara ini masuk di kawasan Eropa Tengah pada letak georgrafis bumi. Cuaca di kota yang terkenal dengan Charles Bridge (Czech: Karluvmost) nya ini, yaitu sebuah jembatan yang membelah sungai Vltava (German: Moldau), ketika aku kunjungi, sangat cukup bersahabat. Walau suhu berada pada kisaran 7 – 12 derajat celcius yang membuat terasa cukup sejuk di kulit ari, namun matahari tetaplah bersinar cukup terangnya; dan kadang rintik hujan nan lembut menemaniku untuk berjalan menelusuri jalan-jalan dan lorong-lorong sempit kota ini.

Purnama di Charles Bridge

Old Town Square, tentu, tempat ini tidak aku lewatkan untuk aku kunjungi di Praha ini. Sebuah area pasar – yang konon – sudah ada semenjak awal abad ke sebelas masehi ini; sebuah area pusat kota Praha yang dikelilingi berbagai jenis bangunan tua ini; sangatlah dipadati turis setiap harinya. Berbagai jenis bangunan indah yang ada di sekeliling arena kota tua ini di antaranya adalah Old Town Hall dengan jam Astronomisnya yang berukuran besar, Tyn Church yang bergaya Ghotic Architecture, termasuk Jan Hus Memorial sebagai sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang reformer religius Ceko.

Old Town Hall dan Tyn Church di Old Town Square
Bangunan-bangunan lain yang berhasil aku kunjungi di kota ini adalah Klementinum National Library dan National Museum. Khusus untuk Perpustakaan Klementinum, perpustakaan ini merupakan jenis perpustakaan yang didirikan pada pertengahan abad 17 dengan Hall bergaya arsitektur Barok (Baroque), dan pernah dijadikan sebagai perpusatakaan nasional dengan koleksi buku lebih dari 6 juta buku. Sayang berpuluh kali sayang, aku tidak diperbolehkan untuk mengabadikan foto perpustakaan ini. Namun, untuk sedikit menghiburku, aku diperbolehkan untuk naik ke menara astronomi (Astronomical Tower), sebuah menara astronomi yang memiliki tinggi 52 meter dengan 172 buah anak tangganya berbentuk spiral; dan – tentunya – aku diperbolehkan untuk membidik beberapa foto kota Praha dari atas puncak menaranya.

Gaya Jepretan Miring National Museum

Praha merupakan kota terbesar sekaligus sebagai Ibukota negara Republik Ceko, sebuah negara di area Eropa Tengah yang pada tahun 1993 resmi berpisah dari Republik Slovakia (tadinya bernama Cekoslovakia). Berjalan-jalan mengelilingi kota ini, sebenarnya diselimuti sedikit perasaan was-was; karena Ceko, termasuk kota Praha-nya, konon merupakan salah negara dan kota yang masyakaratnya merupakan masyarakat pengkonsumsi alkohol tertinggi di dunia. Aroma dan semerbak khas bau alkohol, kadang tercium hidung ini dengan sangat jelas dan kuatnya, baik di saat aku menaiki bus, trem atau metro bawah tanah; tiga jenis kendaraan yang merupakan jenis moda transportasi yang bisa aku gunakan untuk hilir mudik di pusat kota Praha ini.

Menjelang Maghrib di Praha

Untuk makanan halal, estimasiku tentang sulitnya aku menemukan makanan halal ini sedikit meleset. Di pusat kota, tepatnya berdekatan dengan daerah National Museum Ceko, tidak kurang lebih dari tiga atau empat resto halal bergaya Turki berhasil aku temui. Di resto tersebut aku bisa memilih berbagai jenis menu makanan dengan menu nasi sebagai menu utamanya; gulai kambing, gulai ayam, sop iga dan masih banyak lainnya, adalah jenis menu yang bisa aku lahap, dan – setidaknya – dapat me-recharge serta menambah tenagaku untuk aku gunakan berkeliling kota dengan berjalan kaki.

Sebuah perjalanan yang tidak pernah terbayang akal dan terniatkan hati sebelumnya olehku. Hanya dengan kuasa dan karuniaNYA, kuasa dan karunia ALLAH Azza wa Jalla, aku bisa dihadirkan di kota tua penuh warna nan indah ini; kota yang berhasil aku telusuri dan jajaki selama 144 jam ini. Terima kasih ya ALLAH atas semua indah ini…

Alhamdulillah…

Minggu, 18 Agustus 2013

Berburu Lebah


@Nord Uni, Göttingen, Germany

Bismillah…
"Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)‘. Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat menyembuhkan bagi manusia. Sesungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran  ALLAH) bagi orang yang berpikir" [QS. An-Nahl [16]: 68 – 69]

Lebah Hitam Putih (Utama, 2013)

Satu hal pasti yang kadang tidak bisa aku abaikan di kota nan tertata rapi ini adalah berburu foto. Di Göttingen terdapat beberapa taman kota dengan berbagai macam spesies tanaman berbunganya. Tanah yang tidak terlalu subur dan cuaca yang – kadang – sangat ekstrim, membuat para penduduk kotanya – dengan sangat sadar – berusaha secara optimal, untuk merawat taman-taman kota tersebut. Faktanya, kondisi ini lebih baik hasilnya; jika dibandingkan dengan sesuatu yang given, dimana ALLAH telah memberikan tanah nan subur serta cuaca yang sangat mendukung, namun tidak ada usaha optimal dari para manusia-manusia penghuni kotanya. Sehingga kota menjadi gersang dan semakin gersang karena ulah bodoh para manusia-manusianya, ironis...

Lebah Terbang (Utama, 2013)

Yang Buram Yang Berdua (Utama, 2013)

Aku putuskan untuk pergi ke taman kampus utara ‘Nord Uni‘. Terdapat berbagai spesies tanaman bunga disana. Sayangnya musim summer akan segera selesai, sehingga tanaman berbunga mulai sedikit menghilang. Di negara empat musim seperti Jerman ini, musim spring merupakan musim pohon-pohon mulai kembali memunculkan tunas-tunas mudanya; dan bunga-bunga mulai bergeliat untuk tumbuh. Dan mereka kembali menggugurkan daun dan bunga-bunganya, jika musim summer pergi.

Hinggap di Ujung Bunga (Utama, 2013)
Empat Bunga Kuning (Utama, 2013)

Dengan kemahiran berfotoku yang sangat sederhana, jika tidak ingin disebut sangat amatir, aku mencoba untuk membidik beratus-ratus kali foto tentang lebah. Lebah-lebah yang dengan sangat bersukacitanya terbang hilir mudik dari bunga satu ke bunga yang lainnya, dari tangkai satu ke tangkai yang lainnya, tanpa mematahkan setiap yang dipijaknya; selalu memakan makanan yang baik dan menghasilkan semua – hal – yang manis pula; dan tidak akan pernah mengganggu jika memang tidak terganggu; itulah lebah. Maka, mari kita menjadi lebah-lebah islami itu; mari kita ‘berburu lebah‘.

Alhamdulillah…

Kamis, 08 Agustus 2013

Memang Seharusnya – Memaknai Saum dan Lebaran dengan Sangat Sederhana

Author: Ditdit Nugeraha Utama
@Göttingen, Germany
Originally shared on Kalam - Göttingen (klik disini)

Bismillah…
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa; sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa“ (QS. Al-Baqarah[2]: 183).

Ada makna yang luar biasa di balik perayaan lebaran kali ini. Perayaan tanpa makanan berlebih, tanpa kebersamaan – keluarga – yang hangat, dan tanpa macet. ALLAH menakdirkanku untuk menjalankan saum dan lebaran di Jerman. Sebuah kondisi yang tidak pernah tersiratkan sama sekali di otak tumpulku ini. Empatiku menjadi lebih berasa – atau minimal berusaha untuk semakin berasa; karena pemaknaan hari raya dan lebaran yang ku lewati hari ini, aku jalankan dengan sangat sederhana.

Ada jutaan orang yang mengalami hal yang lebih sederhana dari yang aku lewati. Bahkan, mereka menghadapi dan menjalankan lebaran tanpa makanan sama sekali, mungkin tanpa sapa dan peluk hangat sama sekali; dan hebatnya, kondisi seperti ini berjalan berkali-kali dan berlangsung setiap tahunnya. Semakin terasa hebat pula (baca: miris) ketika kita – khususnya aku – malah berbahagia dalam merayakan dan menyambut lebaran dengan bergunung kenikmatan dan kebahagiaan, di tengah-tengah berjuta orang yang entah kapan mereka akan menemukan makanan hanya untuk mampu bertahan hidup.

Suasana Shalat Ied di Salah Satu Pojok Masjid Al-Iman, Göttingen

Satu hal lagi yang aku renungi. Mengenai ayat di atas (QS. Al-Baqarah[2]: 183). Ayat yang menjadi agung pada akhirnya; karena berjuta kali pada sela berjuta kesempatan, ayat ini terus dikumandangkan, dibacakan, disampaikan dan ditausyiahkan. Berkali dan berpuluh kali bangsa Indonesia – dan dunia pada umumnya – telah menjalankan perintah agung ‘saum‘ yang menjadi perintah untuk pembuktian kadar iman seseorang; namun, secara eksponensial pula, keberangusan dan kehancuran terjadi dimana-mana. Kebobrokkan mental, dekadensi moral, penurunan kualitas berkehidupan, dan masih banyak indikator lain yang tidak mampu aku sebutkan satu per satu untuk mensyiratkan bahwa keberangusan dan kehancuran telah terjadi dimana-mana. Memang aku tidak memiliki data eksplisit atas itu semua, namun sebuah aksi pembunuhan sadis – yang terjadi – sudah menjadi cukup bahwa ada kebobrokkan mental disana. Memang aku tidak pandai menyampaikan data statistik untuk itu semua, namun sebuah indikator pencurian uang negara besar-besaran – bahkan berjama‘ah – sudah menjadi cukup bahwa ada dekadensi moral disana. Memang aku tidak sedang memegang data nyata untuk itu semua, namun manipulasi, fitnah, dan berbagai jenis aksi – maaf – bejat lainnya sudah menjadi cukup untuk menggambarkan ada penurunan kualitas berkehidupan disana.

Lantas, apakah ada yang salah dengan ayat ini? Apakah ada kesalahan redaksi bahwa saum menjadikan pelakunya, wilayah yang dipijaknya, negara yang didiaminya; akan menjadi bertaqwa? Apakah – memang benar – ada yang salah dengan ayat ini? Sama sekali tidak! Yang salah, pastilah otak kita dalam memahaminya; pastilah nalar kita yang salah mentafsirkan; atau mungkin amal kita yang salah berpijak dan salah mengimplementasikannya. Kita lupa, bahwa kata ‘taqwa’ yang tersurat jelas di dalam ayat itu merupakan makna aktif (baca: bukan pasif); dimana kita sebagai subjeknya. Kita – orang-orang yang beriman yang menjadi fokus ALLAH untuk diperintahkan saum – adalah subjek dari kata taqwa – sebagai makna aktif – tersebut. Artinya, harus ada kesadaran, kemauan, keinginan, niat, kekuatan usaha, berkerasnya hati dan sempurnanya hasrat untuk bertaqwa; karena kata ‘taqwa’ adalah bermakna ‘aktif’ (berasal dari kata waqa-yaki-wikayah berarti memelihara, menunjukkan bermakna aktif). Kondisi taqwa bukan sim-salabim ALLAH jadikan itu, walau ALLAH memiliki kehendak mutlak akan itu; namun taqwa adalah sebuah kondisi yang memang harus diperjuangkan dan diusahakan – oleh kita yang telah menjalankan saum – semaksimal mungkin.

Nilai filosofis yang terkandung pada saum, yang menjadi salah satu rukunnya islam, dan merupakan sebuah kewajiban yang diwajibkan atas umat mukmin di tahun kedua pada fase kedua dakwah Rasul; haruslah mampu digoreskan, dipatenkan dan dipelihara dengan sangat sadar pada setiap langkah berkehidupan orang yang beriman (mukmin), agar kelasnya meningkat menjadi orang islam (muslim); orang-orang yang secara tertunduk dan patuh untuk berislam di berkehidupannya. Makna menjaga lapar, dahaga dan setiap yang membatalkan saumnya orang-orang beriman, akan – seharusnya dengan sadar – mampu ‘memelihara’ diri orang-orang islam untuk menjauhkan semua hal-hal yang haram dan ‘memelihara’ sense of kepekaan sosialnya yang sempurna. Makna menunggu dan mengatur waktu mulai dan berbuka saumnya orang-orang beriman, akan – seharusnya dengan sadar – mampu ‘memelihara’ orang-orang islam untuk tertib, teratur, on-time dan memiliki etos kerja yang sangat tinggi. Makna setiap harinya berlelah-lelah menjalankan saumnya orang-orang beriman, akan – seharusnya dengan sadar – mampu ‘memelihara’ orang-orang islam untuk menjadi pribadi-pribadi militant dan struggle di dalam melurushunuskan kebenaran. Dan, masih ada puluhan bahkan ratusan makna tersurat dan tersirat dari – rukun islam – saum yang harus – dengan sadar – kita pelihara di dalam berkehidupan kita, sehingga dengan sangat logis bahwa ‘saum’nya orang-orang beriman akan membawa makna ‘taqwa’ bagi setiap individu orang islam.

Lebaran – kembali – menjadi momentum diri untuk menjadi lebih baik. Lebaran – kembali – menjadi momentum umat untuk berniat lebih lurus. Lebaran – kembali – menjadi momentum bangsa untuk sadar lebih kuat; bahwa kita harus bertaqwa, memelihara agar bersungguh-sungguh menjalankan semua perintahNYA – tanpa terkecuali – dan menjauhkan segala laranganNYA – tanpa pilah-pilih. Berat memang, menanjak tentu; makanya memaknai islam menjadi sebuah sistem yang harus digerakan secara padu dan satu, tanpa ada pemaknaan yang sempit dan terkotak-kotak; menjadi keniscayaan yang memang harus dijalankan dengan penuh kesadaran. Karena hakekatnya, ALLAH tidaklah akan merubah kondisi itu, jika kita sendiri yang tidak sadar untuk merubahnya.

Semoga, ALLAH selalu memberi kita kesempatan, memberi kita peluang, menguatkan diri kita, menyadarkan kita, menggerakkan kita – sebagai sebuah pribadi, komunitas dan bangsa – untuk menjadi orang-orang yang bertaqwa; karena, pada hakikatnya taqwa adalah pilihan. Semoga pula, renungan atas makna ‘saum‘ dan ‘taqwa‘ ini dapat dipahami dengan sangat sederhana, sesederhana aku merayakan saum dan lebaran di benua biru ini. Atau, memang seharusnya – memaknai saum dan lebaran dengan sangat sederhana…

Alhamdulillah…

Senin, 05 Agustus 2013

Perintah di Benua Biru


@Göttingen, Germany
Materi ringkas Tausyiah di acara Buka Bersama Pengajian KALAM Göttingen (klik disini)

Bismillah…
Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.A., dari Nabi SAW, beliau bersabda, ”Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Puasa itu untukKU, dan AKU yang akan memberikan ganjarannya, disebabkan seseorang menahan syahwatnya dan makannya serta minumnya karena-KU, dan puasa itu adalah perisai, dan bagi orang yang berpuasa dua kebahagiaan, yaitu kebahagian saat berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya, dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi ALLAH, daripada bau minyak misk/kesturi’ ” (HR. Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah).

Ada rasa yang berbeda di Ramadhan tahun ini, apa pun itu sangat aku syukuri. Ada rasa yang lain dari biasanya di Ramadhan tahun ini, apa pun itu sangat aku syukuri. Ternyata, puasa di summer di benua biru ini lah penyebab perbedaan itu. Aku harus berpuasa disini lebih dari sembilan belas jam lamanya, di cuaca yang cukup ekstrim – kadang dingin atau sangat panas, di lingkungan tanpa tanda kehidupan bernuansa islam seperti yang terjadi di Indonesia. Namun apa pun itu, pasti akan sangat aku syukuri keberadaannya.

Berbagi Tausyiah di Acara Buka Bersama
Pengajian KALAM Göttingen (KALAM, 2013)

Ada rasa yang berbeda, itu yang aku rasakan. Sembilan belas jam aku harus menahan dahaga, namun tetaplah ada batasnya. Sembilan belas jam lamanya aku menahan lapar, namun tetaplah ada batasnya. Aku hanya membayangkan; bahwa, ada ribuan bahkan jutaan orang di luar sana merasakan hal yang sama; dahaga menyekik tenggorokkan dan lapar melilit perut. Bedanya, batas mereka untuk menahan dahaga dan lapar itu tidak pernah mereka tahu kapan akan berakhir. Mereka tidak pernah akan tahu kapan kerongkongannya lega karena segelas air teh manis, mereka pun tidak pernah mampu membayangkan kapan perutnya merasa kenyang oleh hanya segenggam roti gandum; bahkan – mungkin – mereka sudah lupa, bagaimana rasanya tidak haus dan kenyang. Aku hanya berkeyakinan di dalam hati, sangatlah tidak logis dan masuk akal; jika orang yang bersaum tidaklah memiliki kepekaan sosial yang sangat tinggi.

Berbagi Pengalam di Acara Buka Bersama
Pengajian KALAM Göttingen (KALAM, 2013)
Ada rasa yang berbeda, itu yang aku rasakan. Berbuka bersama – sesama warga Indonesia atau bersama dengan mereka dari berbagai jenis bangsa – setidaknya menjadi penyejuk di kegersangan ukuwah di bumi Jerman ini. Seperti ada tetes air sejuk di luasnya padang pasir. Terasa sangat, ada persamaan besar yang kadang kita lupakan, yang dapat mengikat kita tetap padu. Terasa amat, ada persamaan arah rel perjuangan yang kadang kita lupakan, yang tetap mengikat kita tetap satu. Walau memang, berbagai kondisi alamiah atau buatan manusia tanpa hati, selalu mencoba untuk menceraiberaikannya. Persatuan tidaklah akan pernah hadir dengan cara sim-salabim, persatuan pun bukan sesuatu yang datang dengan tiba-tiba; dia ada, karena imbas dari sebuah aksi sadar kita semua; sadar bahwa memang persatuan dan kesatuan harus diperjuangkan dengan sangat sistemik dan terstruktur, sadar bahwa kita memang diikat oleh ALLAH untuk menjalankan sunnah Rasul secara pribadi, komunitas, bangsa dan alam seutuhnya.

Berbagi Indahnya Kebersamaan di Acara Buka Bersama
Pengajian KALAM Göttingen (KALAM, 2013)

Ada rasa yang berbeda, itu yang aku rasakan. Menegakkan perintah saumNYA di benua biru memiliki cerita klasik yang spesifik adanya; klasik, karena banyak orang diberi kesempatan untuk menikmatinya; spesifik, karena setiap individu berbeda cara di dalam merasakannya. Untukku, aku hanya ingin menikmati setiap momen kesendirianku untuk terus mendekatkan diri kepada ALLAH. Aku hanya berusaha untuk mengikhlaskan diri di dalam mengerjakan semua hal yang seharusnya aku kerjakan disini semaksimal aku bisa, sebagai kadar sadarku di dalam mengaplikasikan rasa syukurku kepadaNYA. Karena, ketika ALLAH menerbangkanku belasan ribu kilometer dari Indonesia; aku sangat yakin bahwa ada skenario besar ALLAH di balik ini semua. Jadi, tidaklah cukup buatku untuk hanya berujar syukur alhamdulillah saja untuk mensikapi semua kenikmatanNYA. Tidaklah cukup buatku hanya untuk menikmati semua bergunung gemunung anugrah pemberianNYA di dalam hati. Kalau hanya syukur di lisan dan keyakinan di hati saja yang aku lakukan, dalam rangka bersyukur kepada ALLAH; lantas buat apa ALLAH jauh-jauh menerbangkanku belasan ribu kilometer menjauh dari Indonesia menuju ke benua biru ini. Pastilah ada tuntutan lebih nan besar setelah ini, sebuah tuntutan untuk memberikan terbaik ke sebanyak-banyaknya orang, sebuah tuntutan untuk melibatkan diri dengan sangat sadar dalam menegakkan kebenaran kalimat ALLAH, dan – tentu – beribu hal lainnya atas usaha optimalku pada peran yang terpilihkanNYA untukku.

Ada rasa yang berbeda, itu yang aku rasakan. Apa pun itu ya ALLAH, terima kasih atas semua rasa – perintah di benua biru – nan indah ini…

Alhamdulillah…


Jumat, 12 Juli 2013

Keteladanan Kecil di Tengah Phobia Besar


@Göttingen, Germany

Bismillah…
"Sesungguhnya, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) ALLAH dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat ALLAH" (Q.S. Al-Ahzab[33]: 21)

Aku duduk di samping perempuan Turki berjilbab di sebuah bus menuju centrum. Di dua bangku depan yang menghadap kami, anak laki-lakinya - yang kira-kira berumur tiga atau empat tahun – duduk menghadap ibunya dengan manis; sambil memegang es krim di tangan kanannya. Di sebelahnya, duduk seorang ibu-ibu bule separuh baya.

Selang tak berapa lama, es krim yang dimakan si anak kecil lucu ini menetes – hanya setetes kecil – dan mengenai tas kain si ibu-ibu bule yang duduk di samping sebelah kanannya. Si perempuan Turki ini spontan mengeluarkan saputangan dari tasnya, dan menuangkan sedikit – asal basah – air mineral di atas sapu tangan tersebut. Lalu sepintas mata, perempuan itu meminta maaf atas ulah si anak kecilnya itu; sembari membersihkan cipratan es krim strawberry – yang hanya setetes itu – yang dimakan si anak kecil berhidung mancung tersebut.

Ibu-ibu bule hanya tersenyum, sambil berujar ‘keine problem’ (tidak masalah), dan membiarkan tas kainnya dibersihkan perempuan Turki yang merasa sangat bersalah tersebut; lalu ibu bule ini pun – malah – mencium lembut kepala si anak tersebut. Sebuah cuplikan scene teladan luhur yang ditunjukkan oleh seorang perempuan muslim di tengah-tengah phobia masyarakat eropa atas umat Islam.

Aku menjadi teringat dan alam lamunku menerawang jauh ke enam belas tujuh belas abad yang telah silam, bahwa Islam dikembangkan oleh Rasul dengan kharisma dan keteladanan yang sangat agung. Islam menyebar ke seantero dunia dengan keteladanan yang luhur yang Rasul contohkan; yang Rasul contohkan bukan hanya pada ibadah ritualnya semata, namun seluruh aspek berkehidupan ibadahnya yang berdimensi sangat luas, yang telah tersajikan jelas pada sunnah-sunnahnya. Islam tidaklah disebarkan lewat perang atau agresi militer. Islam tidak mengenal kekerasan; namun Islam pantang surut ke belakang – walau hanya satu hasta – jika musuh menghadang. Kekuatan militer Islam – waktu itu – hanyalah dipergunakan untuk pertahanan, bukan untuk penghancurleburan; terbukti bahwa peperangan yang terjadi di jaman Rasul, pada umumnya terjadi di dalam kota di mana umat Islam berdomisili; secara akal, tidak mungkin jika Islam menyerang, secara logika pula, umat islamlah yang diserang. Namun ketegasan adalah karakter militansi umat Islam. Karena, terkadang kita butuh ketegasan yang nyata, untuk menggoreskan garis furqon pembeda atas akidah yang diyakini; dalam rangka menegakkan kebenaran hakiki ILLAHI.

Alhamdulillah…