Minggu, 18 Agustus 2013

Berburu Lebah


@Nord Uni, Göttingen, Germany

Bismillah…
"Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat yang dibikin manusia. Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)‘. Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat menyembuhkan bagi manusia. Sesungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran  ALLAH) bagi orang yang berpikir" [QS. An-Nahl [16]: 68 – 69]

Lebah Hitam Putih (Utama, 2013)

Satu hal pasti yang kadang tidak bisa aku abaikan di kota nan tertata rapi ini adalah berburu foto. Di Göttingen terdapat beberapa taman kota dengan berbagai macam spesies tanaman berbunganya. Tanah yang tidak terlalu subur dan cuaca yang – kadang – sangat ekstrim, membuat para penduduk kotanya – dengan sangat sadar – berusaha secara optimal, untuk merawat taman-taman kota tersebut. Faktanya, kondisi ini lebih baik hasilnya; jika dibandingkan dengan sesuatu yang given, dimana ALLAH telah memberikan tanah nan subur serta cuaca yang sangat mendukung, namun tidak ada usaha optimal dari para manusia-manusia penghuni kotanya. Sehingga kota menjadi gersang dan semakin gersang karena ulah bodoh para manusia-manusianya, ironis...

Lebah Terbang (Utama, 2013)

Yang Buram Yang Berdua (Utama, 2013)

Aku putuskan untuk pergi ke taman kampus utara ‘Nord Uni‘. Terdapat berbagai spesies tanaman bunga disana. Sayangnya musim summer akan segera selesai, sehingga tanaman berbunga mulai sedikit menghilang. Di negara empat musim seperti Jerman ini, musim spring merupakan musim pohon-pohon mulai kembali memunculkan tunas-tunas mudanya; dan bunga-bunga mulai bergeliat untuk tumbuh. Dan mereka kembali menggugurkan daun dan bunga-bunganya, jika musim summer pergi.

Hinggap di Ujung Bunga (Utama, 2013)
Empat Bunga Kuning (Utama, 2013)

Dengan kemahiran berfotoku yang sangat sederhana, jika tidak ingin disebut sangat amatir, aku mencoba untuk membidik beratus-ratus kali foto tentang lebah. Lebah-lebah yang dengan sangat bersukacitanya terbang hilir mudik dari bunga satu ke bunga yang lainnya, dari tangkai satu ke tangkai yang lainnya, tanpa mematahkan setiap yang dipijaknya; selalu memakan makanan yang baik dan menghasilkan semua – hal – yang manis pula; dan tidak akan pernah mengganggu jika memang tidak terganggu; itulah lebah. Maka, mari kita menjadi lebah-lebah islami itu; mari kita ‘berburu lebah‘.

Alhamdulillah…

Kamis, 08 Agustus 2013

Memang Seharusnya – Memaknai Saum dan Lebaran dengan Sangat Sederhana

Author: Ditdit Nugeraha Utama
@Göttingen, Germany
Originally shared on Kalam - Göttingen (klik disini)

Bismillah…
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa; sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa“ (QS. Al-Baqarah[2]: 183).

Ada makna yang luar biasa di balik perayaan lebaran kali ini. Perayaan tanpa makanan berlebih, tanpa kebersamaan – keluarga – yang hangat, dan tanpa macet. ALLAH menakdirkanku untuk menjalankan saum dan lebaran di Jerman. Sebuah kondisi yang tidak pernah tersiratkan sama sekali di otak tumpulku ini. Empatiku menjadi lebih berasa – atau minimal berusaha untuk semakin berasa; karena pemaknaan hari raya dan lebaran yang ku lewati hari ini, aku jalankan dengan sangat sederhana.

Ada jutaan orang yang mengalami hal yang lebih sederhana dari yang aku lewati. Bahkan, mereka menghadapi dan menjalankan lebaran tanpa makanan sama sekali, mungkin tanpa sapa dan peluk hangat sama sekali; dan hebatnya, kondisi seperti ini berjalan berkali-kali dan berlangsung setiap tahunnya. Semakin terasa hebat pula (baca: miris) ketika kita – khususnya aku – malah berbahagia dalam merayakan dan menyambut lebaran dengan bergunung kenikmatan dan kebahagiaan, di tengah-tengah berjuta orang yang entah kapan mereka akan menemukan makanan hanya untuk mampu bertahan hidup.

Suasana Shalat Ied di Salah Satu Pojok Masjid Al-Iman, Göttingen

Satu hal lagi yang aku renungi. Mengenai ayat di atas (QS. Al-Baqarah[2]: 183). Ayat yang menjadi agung pada akhirnya; karena berjuta kali pada sela berjuta kesempatan, ayat ini terus dikumandangkan, dibacakan, disampaikan dan ditausyiahkan. Berkali dan berpuluh kali bangsa Indonesia – dan dunia pada umumnya – telah menjalankan perintah agung ‘saum‘ yang menjadi perintah untuk pembuktian kadar iman seseorang; namun, secara eksponensial pula, keberangusan dan kehancuran terjadi dimana-mana. Kebobrokkan mental, dekadensi moral, penurunan kualitas berkehidupan, dan masih banyak indikator lain yang tidak mampu aku sebutkan satu per satu untuk mensyiratkan bahwa keberangusan dan kehancuran telah terjadi dimana-mana. Memang aku tidak memiliki data eksplisit atas itu semua, namun sebuah aksi pembunuhan sadis – yang terjadi – sudah menjadi cukup bahwa ada kebobrokkan mental disana. Memang aku tidak pandai menyampaikan data statistik untuk itu semua, namun sebuah indikator pencurian uang negara besar-besaran – bahkan berjama‘ah – sudah menjadi cukup bahwa ada dekadensi moral disana. Memang aku tidak sedang memegang data nyata untuk itu semua, namun manipulasi, fitnah, dan berbagai jenis aksi – maaf – bejat lainnya sudah menjadi cukup untuk menggambarkan ada penurunan kualitas berkehidupan disana.

Lantas, apakah ada yang salah dengan ayat ini? Apakah ada kesalahan redaksi bahwa saum menjadikan pelakunya, wilayah yang dipijaknya, negara yang didiaminya; akan menjadi bertaqwa? Apakah – memang benar – ada yang salah dengan ayat ini? Sama sekali tidak! Yang salah, pastilah otak kita dalam memahaminya; pastilah nalar kita yang salah mentafsirkan; atau mungkin amal kita yang salah berpijak dan salah mengimplementasikannya. Kita lupa, bahwa kata ‘taqwa’ yang tersurat jelas di dalam ayat itu merupakan makna aktif (baca: bukan pasif); dimana kita sebagai subjeknya. Kita – orang-orang yang beriman yang menjadi fokus ALLAH untuk diperintahkan saum – adalah subjek dari kata taqwa – sebagai makna aktif – tersebut. Artinya, harus ada kesadaran, kemauan, keinginan, niat, kekuatan usaha, berkerasnya hati dan sempurnanya hasrat untuk bertaqwa; karena kata ‘taqwa’ adalah bermakna ‘aktif’ (berasal dari kata waqa-yaki-wikayah berarti memelihara, menunjukkan bermakna aktif). Kondisi taqwa bukan sim-salabim ALLAH jadikan itu, walau ALLAH memiliki kehendak mutlak akan itu; namun taqwa adalah sebuah kondisi yang memang harus diperjuangkan dan diusahakan – oleh kita yang telah menjalankan saum – semaksimal mungkin.

Nilai filosofis yang terkandung pada saum, yang menjadi salah satu rukunnya islam, dan merupakan sebuah kewajiban yang diwajibkan atas umat mukmin di tahun kedua pada fase kedua dakwah Rasul; haruslah mampu digoreskan, dipatenkan dan dipelihara dengan sangat sadar pada setiap langkah berkehidupan orang yang beriman (mukmin), agar kelasnya meningkat menjadi orang islam (muslim); orang-orang yang secara tertunduk dan patuh untuk berislam di berkehidupannya. Makna menjaga lapar, dahaga dan setiap yang membatalkan saumnya orang-orang beriman, akan – seharusnya dengan sadar – mampu ‘memelihara’ diri orang-orang islam untuk menjauhkan semua hal-hal yang haram dan ‘memelihara’ sense of kepekaan sosialnya yang sempurna. Makna menunggu dan mengatur waktu mulai dan berbuka saumnya orang-orang beriman, akan – seharusnya dengan sadar – mampu ‘memelihara’ orang-orang islam untuk tertib, teratur, on-time dan memiliki etos kerja yang sangat tinggi. Makna setiap harinya berlelah-lelah menjalankan saumnya orang-orang beriman, akan – seharusnya dengan sadar – mampu ‘memelihara’ orang-orang islam untuk menjadi pribadi-pribadi militant dan struggle di dalam melurushunuskan kebenaran. Dan, masih ada puluhan bahkan ratusan makna tersurat dan tersirat dari – rukun islam – saum yang harus – dengan sadar – kita pelihara di dalam berkehidupan kita, sehingga dengan sangat logis bahwa ‘saum’nya orang-orang beriman akan membawa makna ‘taqwa’ bagi setiap individu orang islam.

Lebaran – kembali – menjadi momentum diri untuk menjadi lebih baik. Lebaran – kembali – menjadi momentum umat untuk berniat lebih lurus. Lebaran – kembali – menjadi momentum bangsa untuk sadar lebih kuat; bahwa kita harus bertaqwa, memelihara agar bersungguh-sungguh menjalankan semua perintahNYA – tanpa terkecuali – dan menjauhkan segala laranganNYA – tanpa pilah-pilih. Berat memang, menanjak tentu; makanya memaknai islam menjadi sebuah sistem yang harus digerakan secara padu dan satu, tanpa ada pemaknaan yang sempit dan terkotak-kotak; menjadi keniscayaan yang memang harus dijalankan dengan penuh kesadaran. Karena hakekatnya, ALLAH tidaklah akan merubah kondisi itu, jika kita sendiri yang tidak sadar untuk merubahnya.

Semoga, ALLAH selalu memberi kita kesempatan, memberi kita peluang, menguatkan diri kita, menyadarkan kita, menggerakkan kita – sebagai sebuah pribadi, komunitas dan bangsa – untuk menjadi orang-orang yang bertaqwa; karena, pada hakikatnya taqwa adalah pilihan. Semoga pula, renungan atas makna ‘saum‘ dan ‘taqwa‘ ini dapat dipahami dengan sangat sederhana, sesederhana aku merayakan saum dan lebaran di benua biru ini. Atau, memang seharusnya – memaknai saum dan lebaran dengan sangat sederhana…

Alhamdulillah…

Senin, 05 Agustus 2013

Perintah di Benua Biru


@Göttingen, Germany
Materi ringkas Tausyiah di acara Buka Bersama Pengajian KALAM Göttingen (klik disini)

Bismillah…
Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.A., dari Nabi SAW, beliau bersabda, ”Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Puasa itu untukKU, dan AKU yang akan memberikan ganjarannya, disebabkan seseorang menahan syahwatnya dan makannya serta minumnya karena-KU, dan puasa itu adalah perisai, dan bagi orang yang berpuasa dua kebahagiaan, yaitu kebahagian saat berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya, dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi ALLAH, daripada bau minyak misk/kesturi’ ” (HR. Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah).

Ada rasa yang berbeda di Ramadhan tahun ini, apa pun itu sangat aku syukuri. Ada rasa yang lain dari biasanya di Ramadhan tahun ini, apa pun itu sangat aku syukuri. Ternyata, puasa di summer di benua biru ini lah penyebab perbedaan itu. Aku harus berpuasa disini lebih dari sembilan belas jam lamanya, di cuaca yang cukup ekstrim – kadang dingin atau sangat panas, di lingkungan tanpa tanda kehidupan bernuansa islam seperti yang terjadi di Indonesia. Namun apa pun itu, pasti akan sangat aku syukuri keberadaannya.

Berbagi Tausyiah di Acara Buka Bersama
Pengajian KALAM Göttingen (KALAM, 2013)

Ada rasa yang berbeda, itu yang aku rasakan. Sembilan belas jam aku harus menahan dahaga, namun tetaplah ada batasnya. Sembilan belas jam lamanya aku menahan lapar, namun tetaplah ada batasnya. Aku hanya membayangkan; bahwa, ada ribuan bahkan jutaan orang di luar sana merasakan hal yang sama; dahaga menyekik tenggorokkan dan lapar melilit perut. Bedanya, batas mereka untuk menahan dahaga dan lapar itu tidak pernah mereka tahu kapan akan berakhir. Mereka tidak pernah akan tahu kapan kerongkongannya lega karena segelas air teh manis, mereka pun tidak pernah mampu membayangkan kapan perutnya merasa kenyang oleh hanya segenggam roti gandum; bahkan – mungkin – mereka sudah lupa, bagaimana rasanya tidak haus dan kenyang. Aku hanya berkeyakinan di dalam hati, sangatlah tidak logis dan masuk akal; jika orang yang bersaum tidaklah memiliki kepekaan sosial yang sangat tinggi.

Berbagi Pengalam di Acara Buka Bersama
Pengajian KALAM Göttingen (KALAM, 2013)
Ada rasa yang berbeda, itu yang aku rasakan. Berbuka bersama – sesama warga Indonesia atau bersama dengan mereka dari berbagai jenis bangsa – setidaknya menjadi penyejuk di kegersangan ukuwah di bumi Jerman ini. Seperti ada tetes air sejuk di luasnya padang pasir. Terasa sangat, ada persamaan besar yang kadang kita lupakan, yang dapat mengikat kita tetap padu. Terasa amat, ada persamaan arah rel perjuangan yang kadang kita lupakan, yang tetap mengikat kita tetap satu. Walau memang, berbagai kondisi alamiah atau buatan manusia tanpa hati, selalu mencoba untuk menceraiberaikannya. Persatuan tidaklah akan pernah hadir dengan cara sim-salabim, persatuan pun bukan sesuatu yang datang dengan tiba-tiba; dia ada, karena imbas dari sebuah aksi sadar kita semua; sadar bahwa memang persatuan dan kesatuan harus diperjuangkan dengan sangat sistemik dan terstruktur, sadar bahwa kita memang diikat oleh ALLAH untuk menjalankan sunnah Rasul secara pribadi, komunitas, bangsa dan alam seutuhnya.

Berbagi Indahnya Kebersamaan di Acara Buka Bersama
Pengajian KALAM Göttingen (KALAM, 2013)

Ada rasa yang berbeda, itu yang aku rasakan. Menegakkan perintah saumNYA di benua biru memiliki cerita klasik yang spesifik adanya; klasik, karena banyak orang diberi kesempatan untuk menikmatinya; spesifik, karena setiap individu berbeda cara di dalam merasakannya. Untukku, aku hanya ingin menikmati setiap momen kesendirianku untuk terus mendekatkan diri kepada ALLAH. Aku hanya berusaha untuk mengikhlaskan diri di dalam mengerjakan semua hal yang seharusnya aku kerjakan disini semaksimal aku bisa, sebagai kadar sadarku di dalam mengaplikasikan rasa syukurku kepadaNYA. Karena, ketika ALLAH menerbangkanku belasan ribu kilometer dari Indonesia; aku sangat yakin bahwa ada skenario besar ALLAH di balik ini semua. Jadi, tidaklah cukup buatku untuk hanya berujar syukur alhamdulillah saja untuk mensikapi semua kenikmatanNYA. Tidaklah cukup buatku hanya untuk menikmati semua bergunung gemunung anugrah pemberianNYA di dalam hati. Kalau hanya syukur di lisan dan keyakinan di hati saja yang aku lakukan, dalam rangka bersyukur kepada ALLAH; lantas buat apa ALLAH jauh-jauh menerbangkanku belasan ribu kilometer menjauh dari Indonesia menuju ke benua biru ini. Pastilah ada tuntutan lebih nan besar setelah ini, sebuah tuntutan untuk memberikan terbaik ke sebanyak-banyaknya orang, sebuah tuntutan untuk melibatkan diri dengan sangat sadar dalam menegakkan kebenaran kalimat ALLAH, dan – tentu – beribu hal lainnya atas usaha optimalku pada peran yang terpilihkanNYA untukku.

Ada rasa yang berbeda, itu yang aku rasakan. Apa pun itu ya ALLAH, terima kasih atas semua rasa – perintah di benua biru – nan indah ini…

Alhamdulillah…