Rabu, 15 Mei 2013

Berlin, Kota Ber-image 'Seram'...

Author: Ditdit Nugeraha Utama
@Berlin, Germany

Bismillah...
Namanya 'Berlin'. Mendengar namanya saja, kota itu telah membuat bulu kudukku berdiri. Entah kenapa, tapi seperti itulah yang aku rasakan. Ada puluhan 'image seram' tergambarkan di kepalaku, ketika aku mendengar kata 'Berlin'. Angker, perang dunia kedua, Hitler, Holocaust, tembok Berlin; dan masih banyak lagi kata-kata lain yang dapat menggambarkan 'image seram' kota Berlin ini menurutku. Ketika aku hadir di kota ini, cuaca sedang cukup panasnya. Matahari sedang giat-giatnya memunculkan diri, dan mengigit kulit ariku; maklum, setelah sekitar empat bulan dia enggan untuk menampakkan keganasan gigi taringnya.

Rencanaku, aku hanya ingin singgah kurang lebih lima jam saja di kota angker ini; sebuah kota yang bejarak kurang lebih 330 km dari kota Göttingen menuju Timur Laut ini. Aku - biasa - hanya ingin berburu pengalaman di berbagai tempat bersejarah di kota ini; Brandenburg Tor (gerbang Brandenburg), universitas ternama Humboldt, Berliner Dom, Holocaust Memorial; adalah beberapa tempat yang ingin aku singgahi, atau hanya sekedar untuk mentadaburinya. Berburu makanan halal di sekitar daerah Turmstraße, pasti tidak akan aku lewatkan; dan tentu saja, aku ingin pula mencoba untuk menghapus rasa dan image seramku ini, atas kota yang bernama Berlin ini.

Ku di Brandenburg Tor 
Setelah tiga jam perjalanan dengan menggunakan ICE dari Göttingen, aku tiba di Berlin Central Station (German: Berlin Hauptbahnhof); sebuah stasiun bernuansa cerah, dan beraroma modern; karena mayoritas dinding dari stasiun ini terbuat dari kaca dan tembus pandang. Dari stasiun itu, aku langsung menuju ke gerbang Brandenburg. Tembok Berlin berhasil dirobohkan pada tahun 1990, dan gerbang Brandenburg inilah yang merupakan gerbang yang dijadikan sebagai simbol tonggak bersatunya Jerman Barat dan Jerman Timur. Tidak jauh dari Brandenburg Tor, hanya sekitar 5 menit berjalan kaki; aku berhasil menapaki sebuah monumen untuk mengenang para korban perang dunia II berbangsa Yahudi; namanya Monumen Holocaust Memorial. Betul saja, memasuki area Holocaust Memorial ini, bulu kudukku semakin merinding; seperti memasuki pelataran pekuburan yang cukup menyeramkan. Dengan ribuan beton-beton berbentuk persegi panjang, berwarna hitam, serta dalam berbagai ukuran besar dan kecil; tempat ini nampak sangat angker dan tidak nyaman untuk berlama-lama disana. Aku, dengan segera, beranjak pergi; dan selanjutnya aku menuju gedung Reichstag; sebuah gedung yang merupakan gedung parlemennya Jerman (Bundestag); dengan tulisan 'Dem Deutschen Volke' atau 'kepada rakyat Jerman' di sisi depannya, gedung ini sangat gagah berdiri. Gedung klasik nan tua ini, berdiri kokoh di hadapanku sekarang. Sebuah gedung yang menggambarkan keangkuhan kota Berlin; pun menambah kewibawaan kota Berlin. Namun, sedikit banyak; gedung Reichstag ini telah mampu menepis keangkeran Holocaust yang baru saja aku lewati.

Ku di Berliner Dom 
Selanjutnya, aku menuju pusat daerah jajanan makanan halal; di Turmstraße. Aku dapat memilih sesuka hati jenis makanan yang selama ini sangat sulit aku jumpai di Göttingen; namun tentu saja, menu mayoritasnya adalah makanan khas Turki dan Timur Tengah. Berada di kawasan ini, sedikit banyak telah membawa alam pikir dan imajinasiku terbang ribuan kilo meter ke negeri di dataran Timur Tengah bercitarasa Arabic. Setelah menyantap makanan berselera ayam, kemudian aku melanjutkan perjalanku ke Universitas Humboldt; hanya untuk sekedar melihat-lihat dan mengambil beberapa gambar dengan kameraku. Universitas Humboldt, adalah salah satu universitas tua dan tertua di Berlin, serta berkualitas pendidikan selangit; Universitas Humboldt adalah salah satu universitas yang berdiri di awal tahun 1800-an, walau tetap jauh lebih muda daripada Universitas Göttingen yang berdiri di sekitaran tahun 1700. Beradanya aku di Universitas Humboldt, tanpa aku sadari, telah membuat keangkeran kota Berlin sirna sama sekali dari rasaku ini; karena nuansa modernnya, sudah memudarkan aura mistis yang menaunginya selama ini.  Dan, akhirnya perjalananku, ku akhiri - dan memang harus aku akhiri - di Berliner Dom atau Berlin Cathedral; sebuah Gereja tua yang megah nan artistik; dengan taman yang sangat indah dan tertata rapi.

Berlin Hauptbahnhof
Itulah sekelumit napak tilas perjalanan lima jamku di kota Berlin; si Kota berimage angker, yang tidak lagi seangker seperti pada bayanganku sebelumnya. Apa pun nuansa yang terekam di kepalaku ini, tidak menyebabkanku untuk lupa akan panjatan syukur ke khadirat ALLAH SWT; atas kuasa yang telah - sekali lagi - memperjalankan diriku ini mencapai sebuah tempat yang tidak pernah terpikirkan sama sekali untuk aku singgahi sebelumnya. Terima kasih ya ALLAH, terima kasih atas semua kuasa indahMU ini...

Alhamdulillah...

Rabu, 08 Mei 2013

Saat yang Tepat untuk Aku Berlari...


Author: Ditdit Nugeraha Utama
@Göttingen, Germany

Bismillah...
ALLAH selalu mengingatkanku; atas sesuatu yang kadang aku lupakan, karena kepadatan aktivitas dan pekerjaanku; atas waktu yang terus bergurir, karena memang seperti itulah sunnatullah-nya; atas musim yang kembali berganti, karena memang seperti itulah aturan mainnya; atas hidangan umur yang bertambah namun berkurang, karena seperti itulah takar hitungannya. Tak terasa musim dingin tergantikan oleh musim semi; matahari telah mulai menampakkan dirinya, walau kadang masih terlihat malu-malu; daun-daun pohon sudah mulai kembali tumbuh, walau baru sekedar tunas mudanya. Selamat datang musim semi, ceria aku ucapkan; sebuah musim, dari rangkaian empat musim yang memayungi tanah Eropa ini, telah kembali hadir.

Orang-orang mulai kembali membeli dan memakan es krim; resto-resto sudah mulai kembali menggelar meja dan kursi tempat nongkrong di sepanjang trotoar jalan pada sebagian pusat kotanya; toko-toko sudah mulai mencucigudangkan sebagian barang khusus yang dijual di musim dingin yang hampir seratus persen berlalu itu. Semua nampak ceria, wajah-wajah nampak berseri kembali, semangat pun nampak mulai  membumbung; setelah hampir empat bulan nampak kuyu dan lesu tak bergairah seperti kurang darah dan tidak pernah mandi.

Pemandangan Klasik Tempat Nongkrong Pinggir Jalan 1

Pemandangan Klasik Tempat Nongkrong Pinggir Jalan 2

Sebagian orang pun telah mulai merubah penampilannya; setelah menutupi seluruh tubuhnya rapat-rapat tanpa celas sedikit pun, sekarang mulai membuka auratnya sedikit demi sedikit, atau bahkan mungkin akan 'hampir' seluruh tubuhnya; sebagian orang telah mulai kembali menggunakan sepatu sport, bukan lagi sepatu kulit yang tinggi dan kedap udara; sebagian orang pun mulai berkerumun di beberapa pojok taman kota, hanya sekedar berjemur atas cahaya surya sembari ber-barbecue-ria; dan juga aku melihat, bahwa sebagian orang telah mulai mengayuh sepedanya kembali tanpa ragu, dengan pakaian alakadarnya, tanpa takut tercubit rasa dingin yang menusuk tulang.

Lalu aku? Entah apa yang akan aku lakukan, entah acara ritual apa yang akan aku kerjakan; mungkin buncah rasa syukur atas berkehidupanku ini saja yang aku rasakan dalam menyambut musim semi ini; atau... Hmmm aku sangat amat tertarik dengan udara yang sedikit hangat ini, matahari yang cukup terik tetapi tidak menyengat ini, cuaca yang sangat cerah nan lembut ini, udara yang sangat jernih tanpa polusi ini, burung-burung yang berkicau riang ini; ya ALLAH indahnya... Sebuah nuansa indah penuh oksigen, nuansa ceria penuh warna, nuansa alam nan sejuk yang sangat cocok sekali untuk jogging. Jogging? Hmmm... Ya jogging... It's good idea I think... Aku berpikir, mungkin inilah 'saat yang tepat untuk aku berlari'...

Alhamdulillah...

Selasa, 07 Mei 2013

Leiden nan Tenang...

Author: Ditdit Nugeraha Utama
@Leiden, Netherland

Bismillah...
@Leiden Centraal
Bertemu orang yang syarat pengalaman atas sejarah kelam Indonesia, menjadi oleh-oleh berhargaku yang aku dapat dari kunjunganku di kota Leiden ini.  Orang yang penuh dengan syarat pengalaman sejarah Indonesia di akhir tahun 60an ini, tinggal, menetap, dan telah menjadi warga negara Belanda. Bukan karena keengganan beliau untuk kembali ke Indonesia; bukan pula karena Indonesia telah menjadi cerita masa lalunya yang harus dikubur dalam-dalam; namun sebuah kondisi sistemik yang memungkinkan beliau tidak mungkin untuk kembali ke negara tercinta, Indonesia. Beliau menjadi sesepuh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda; atau minimal menjadi 'dianggap sepuh', karena banyak para anggota PPI di Belanda ini berkunjung ke kediaman beliau, just share and talk something. Banyak cerita yang berhasil aku dengar dan pelajari darinya, walau hanya sejenak aku berkunjung; berbagai cerita kisah nyata, yang semakin memperjelas benang merah sejarah Indonesia, yang menambal sulam keutuhan atas berbagai jenis kebolongan cerita sejarah Indonesia yang ada di kepalaku ini. Kembali dan lagi aku bersyukur kepada ALLAH, atas semua nikmat indah ini.


Kota Leiden, sebuah kota sejuk, sunyi, dan senyap; kota yang membuat aku enggan untuk beranjak meninggalkannya. Kota Leiden, sebuah kota di titik pusat segitiga antara kota Amsterdam, Den Haag, dan Rotterdam, dan berjarak sekitar 45 menit dengan menggunakan kereta dari stasiun Centraal Amsterdam; sebuah kota yang merupakan kota penting yang terletak di provinsi Luid Holland. Kota Leiden, sebuah kota kecil yang memiliki universitas tertua di Belanda, universitas Leiden; sebuah universitas yang berdiri di pertengahan abad ke 16; sebuah universitas yang menjadi tautan mata pencaharian lebih dari 4.500 orang penduduknya ini, menyebabkan kota Leiden ini menjadi kota bernuansa kota pelajar. Kota Leiden, aku menyukai kota ini; menjelajahi sejenak panoramanya, menjadi pengalam baru yang mengasyikkan buatku pada akhirnya. 

Kota asri nan bersih ini, cenderung damai dan tenang, dibelah dua oleh sungai yang bernama Sungai Rhine; sebuah lukisanNYA yang menambah ketakjubanku atas kota ini. Sungai Rhine, sebuah sungai dua fungsi yang sangat dibanggakan penduduk kota Leiden ini, di musim panas dapat menjadi tempat wisata air bagi pengunjungnya, sedangkan di musim dingin ia bisa digunakan sebagai tempat orang ber-ice skating; membuatku terpesona atas keindahannya. Bangunan-bangunan klasik ciri khusus Belanda  abad 17an, masih menjadi panorama dominan dari kota ini; membuat aku ingin berlama-lama tinggal di kota yang ramah dan rapi ini. Tradisional, ramah, dan tenang menjadi kata kunci untuk melukiskan kota Leiden ini; walau pun fasilitas yang tersaji, tetap saja hampir setaraf dengan kota-kota besar lainnya.

Itulah Leiden, sebuah kota yang sempat aku pijak. Hadirnya aku di kota ini, pastilah ada karena skenarioNYA. Hanya hikmah yang harus selalu aku ambil, dan syukur yang harus selalu aku hiasi pada berkehidupanku ini; agar hari-hariku menjadi hari-hari yang bermanfaat tinggi bagi sesama, menjadi pencapaian akhir berkehidupanku. Liburan sejenakku di kota Leiden ini, telah mampu mengembalikan kepenatan pikiran dari kesibukan aktivitas harianku; pikiranku kembali menjadi tenang, setenang kota Leiden...

Alhamdulillah...