Minggu, 21 September 2014

Sarapan, Bersyukurlah...

Ditdit Nugeraha Utama
@Dubai, United Arab Emirates

Bismillah...
Bagi sebagian orang, tidak ada yang spesial sama sekali dengan aktivitas yang dinamakan sarapan, sebuah aktivitas yang – wajib – dilakukan sebelum terjun ke aktivitas lainnya. Namun bagi sebagian orang yang lain, sarapan adalah hal yang sangat langka untuk dapat dilakukan. Jangankan untuk sarapan, mungkin untuk makan di saat perut terasa sangat lapar melilit sekali pun, bisa jadi tidak mampu untuk dilakukan; karena sebuah alasan keterbatasan yang memungkinkan ia tidak mampu untuk melakukannya. Maka, apa pun aktivitas itu, sarapan sekali pun, pastinya merupakan berkah yang tidak terkira bagi kita semua.

Sarapan yang biasa aku lakukan merupakan sarapan atas makanan yang cukup berat, namun bisa dikatakan sangat sederhana. Secangkir kopi atau teh atau bisa ditambah dengan air susu, roti atau nasi atau yang lainnya yang mengandung karbohidrat, telor atau jenis lauk pauk lainnya yang mengandung protein, that’s it. Itu pula yang aku lakukan di pagi hari ini. Hanya saja, aku melakukannya ketika aku transit di Dubai International Airport, atas pejalananku dari Jakarta menuju Göttingen.

Killing time aku lakukan, dalam waktu transit selama empat jam ini. Membaca buku Ibn Khaldun, adalah aktivitas yang sangat mengasyikkan. Banyak pelajaran yang didapat, berlimpah ilmu yang dapat diserap; sampai sebuah pemahaman bahwa makna hakikat tidak akan pernah kita dapatkan tanpa analogi. Sebuah ungkapan yang begitu luar biasa, yang hanya dapat diungkapkan oleh seorang yang memang penyerahan dirinya kepada ALLAH merupakan penyerahan diri yang sangat total. Dimana, menuntut ilmu tidaklah diembel-embeli apa pun, selain memang merupakan kewajibannya. Kewajiban mengisi otak kita, sehingga proses berpikir di dalam memutuskan apa pun di dalam berkehidupannya menjadi lebih logis dan benar adanya.

Kembali ke sarapan. Pagi ini aku sarapan dengan meminum segelas – ukuran medium – kopi murni yang aku beli di cafe costa. Karena aku tidak yakin dengan kandungan jenis makanannya, aku tidak memilih makanan lainnya selain kopi, dan itu pun hanya kopi plus air putih, tanpa milk dan tanpa cream. Lalu, aku makan beberapa potong biskuit yang aku bawa dari Indonesia. Cukup sudah. Yang menjadi lebih istimewa adalah bahwa aku melakukan itu semua di salah satu bandara internasional terbesar di dunia, Dubai. Dubai international airport merupakan bandara yang sangat besar, bahkan – mungkin – terbesar di dunia. Bandara ini dibangun di atas area seluas 3.400 hektar, memiliki kapasitas jumlah penumpang lebih dari 60 juta orang plus jumlah pegawai yang lebih dari 50.000 orang, berat kargo yang dapat dioperasikan lebih dari 120 juta ton, dan lebih dari 7.000 jumlah penerbangan yang dioperasikan per minggunya (wikipedia, 2014). Bahkan, konon, kapasitas dan kesibukan bandara ini telah mampu manyalip bandara internasional Heathrow, London. Berjalan-jalan di koridor besarnya – khususnya terminal 3 – yang ditemani berbagai jenis toko besar sepanjang koridor yang dioperasikan 24 jam per harinya, adalah suasana yang cukup mencengangkan.

Aku hanya ingin katakan disini, bahwa bersyukur tanpa henti atas apa yang kita dapat, adalah tindakan bijak dari seorang manusia. Hanya, kita harus juga mengkaji lebih jauh makna syukur itu sendiri. Makna yang tidak boleh disempitkan. Makna yang sebenarnya sangat luas. Syukur hakikatnya adalah mengoptimalkan semua potensi kepemilikan yang kita miliki, yang coba kita berikan untuk menyebarkan kebajikan kepada sebanyak-banyaknya manusia dan alam. Maka, dengan sekilas cerita tentang sarapan ini, bersyukurlah... [dnu]

Alhamdulillah...

Sabtu, 09 Agustus 2014

Andai Aku Tersesat di Stasiun Bojong...

Ditdit Nugeraha Utama
@London, United Kingdom

Ini bukanlah penggalan cerita di dalam salah satu bab novel yang sedang aku tulis. Tetapi mungkin saja akan aku masukkan ke dalam salah satu bagiannya, karena pengalaman nyata ini sungguh menggelikan, lucu, mencekam, dan juga menyeramkan. Pengalamanku menginjakkan kaki di negeri Ratu Elizabeth saja tidak pernah aku impikan sama sekali, apalagi sampai tersesat disana... Hahaha, ya tersesat karena salah naik kereta. Menggelikan bukan? Lalu, menyeramkannya dimana?

Sepulang lawatanku ke dua stadion klub sepakbola ternama yang ada di kota Manchester, sore itu aku harus langsung kembali ke London. Kereta kencang Virgin Trains yang akan membawaku ke London tidak ada yang langsung meluncur menuju kesana, kereta memungkinkan harus transit terlebih dahulu di Birmingham. Disinilah cerita pengalaman langka itu dimulai...

Karena padatnya penumpang yang menggunakan jasa kereta kencang di musim liburan summer ini, kereta menuju Birmingham pun mengalami keterlambatan. Sesampainya di stasiun Birmingham, hari sudah mulai gelap. Kira-kira pukul delapan malam, dimana matahari mulai masuk ke peraduan, dan waktu maghrib musim summer pukul sembilan malam pun akan segera tiba.

Aku – memang – agak tergesa-gesa waktu itu. Tanpa melihat papan informasi keberangkatan kereta, karena aku pikir waktunya sudah terlambat; aku langsung bertanya ke petugas, “kereta menuju ke London ada di platform berapa?“. Petugas hanya menjawab dengan tenang, “sepertinya sudah berangkat, tetapi silahkan anda cek di platform lima“.

Tanpa berpikir lama, aku langsung berlari menuju platform lima dengan menuruni anak tangga berjalan. “Nah itu...“, pikirku. Kereta menuju London masih ada. Aku langsung loncat ke dalam, dan bersamaan dengan itu pula pintu kereta tertutup secara otomatis, dan kereta pun melaju.

Sambil sedikit menghela napas, aku kemudian bertanya ke seorang penumpang lain di dalam kereta, hanya untuk meyakinkan apakah kereta ini benar menuju London. “Apakah benar ini kereta menuju London?”, tanyaku. Suprisingly, dia menjawab dengan singkat dan padat, “no…”. “What!?”. Sekujur tubuhku terasa dingin dan kaku. Aku hanya bisa menatap kosong.

Stasiun yang Mencekam, Tentulah Bukan Stasiun Bojong

“Lalu aku harus bagaimana?”. Dengan santai, orang berparas Timur Tengah itu memberikan saran, “anda bisa turun di stasiun berikut dan menunggu kereta untuk kembali ke stasiun Birmingham“. Ya, itu saran yang paling masuk akal di tengah kepanikan tiada tara. Kepanikan, karena hari sudah mulai malam. Liburan summer memungkinkan kereta kadang berubah rute atau mengalami delay. Selain itu juga, besok aku harus take off dengan menggunakan pesawat pukul enam pagi. Artinya, setidaknya aku harus ada di bandara dua jam sebelumnya. Dan satu hal lagi, ini UK bung, kalau di stasiun Bojong aku masih bisa memberhentikan angkot atau naik ojek dan langsung tancap gas pulang ke Bogor.

Tidak lama kemudian, kereta sampai dan berhenti di stasiun berikutnya. Entah apa nama stasiunnya. Waktu itu benar-benar tidak penting, yang penting aku segera naik kereta ke arah sebaliknya di sisi rel kereta sebelahnya, dan kembali ke stasiun Birmingham.

Aku langsung meloncat keluar kereta, dan… “Ya ALLAH dimana ini?“. Stasiun dengan hanya satu tempat pemberhentian kecil, berada di tengah-tengah hutan belantara, dan benar-benar sepi. “Dimana ini ya ALLAH?“, bibirku benar-benar bergetar. Untuk menunggu kereta ke arah sebaliknya di sisi rel satunya lagi pun, aku harus melalui tangga ke arah luar dan menaik, karena jalan akses yang lebih dekat sudah tertutup; mungkin karena sudah menjelang malam dan sudah tidak ada penumpang, atau – mungkin juga – memang tidak pernah ada penumpang di stasiun ini. Stasiun ini benar-benar sepi, mencekam dan – seperti – tanpa kehidupan.

Aku harus melewati jembatan yang cukup tinggi untuk menyebrang ke sisi rel satunya lagi. Sesampainya di sisi rel sebelahnya, aku melihat layar informasi keberangkatan kereta. Ternyata tidak semua kereta berhenti di stasiun ini, dan ternyata – pula – kereta yang berhenti lewat stasiun ini baru ada 1,5 jam berikutnya.

“Ya ALLAH, apa yang harus aku lakukan? Hapeku pun lowbat, dan aku benar-benar tidak mengenal daerah ini“, aku bergumam dan mengadu kepadaNYA di dalam hati. Aku harus keluar dari stasiun ini, dan mencari orang atau taxi untuk bisa kembali ke stasiun Birmingham sesegera mungkin. Selepas keluar stasiun, masya ALLAH... Benar-benar kota mati. Memang ada beberapa rumah, namun – sepertinya – tidak berpenghuni. Aku mencoba berjalan menelusuri jalan aspal yang masih terlihat baru karena jarang dilewati kendaraan, siapa tahu ada tukang mie rebus atau penjual es kelapa muda di depan. Ah, pikiranku masih saja mengenai stasiun Bojong.

Selagi berjalan, beberapa mobil pribadi lewat, aku mencoba untuk memberhentikannya, tapi sia-sia. Mungkin mereka juga takut untuk memberhentikan mobilnya dan kemudian berkomunikasi dengan orang asing di daerah mencekam seperti ini. Atau juga... Ah gak tahulah...

Udara semakin dingin dan malam semakin pekat. Perutku pun sudah mulai dililit usus dua belas jarinya. Apalagi ukuran ususku lebih panjang dari ukuran usus orang lain pada umumnya, semakin terasa kencang lilitannya di perutku ini. Selagi menunggu jadwal kereta menuju stasiun Birmingham, aku tetap mencoba berjalan, memberhentikan mobil yang lewat, dan mencoba untuk mencari orang untuk bisa diajak berbicara. Tetapi ternyata nihil.

Aku kembali ke stasiun, menuruni tangga jembatan curam. Stasiun ini sungguh terasa sangat mencekam, dan benar-benar tidak ada satu orang pun nampak batang hidungnya. Aku kembali melihat dan membaca layar informasi keberangkatan kereta. Masya ALLAH, delay. Kereta akan tiba pukul setengah sebelas. “Berarti, harus pukul berapa aku sampai di stasiun Birmingham? Lalu, apakah masih ada kereta menuju London?”, aku membatin dan pikiranku menerawang sangat liar.

Di tengah stasiun mencekam, dan benar-benar mencekam. Di tengah kegelapan malam dan dinginnya angin Eropa. Aku hanya bisa pasrah. Dan menunggu kereta, tanpa bisa melakukan apa pun.

Akhirnya, kereta itu pun tiba. Perjalananku masihlah panjang. Aku kembali loncat ke dalam kereta yang membawaku kembali ke stasiun Birmingham. Setidaknya, di stasiun ini masih ada orang, walaupun stasiunnya sudah tutup. Aku bertanya ke seseorang disana, “anda tahu apakah masih ada kereta ke London?”. Dia menjawab, “sudah tidak ada“. Lemas. Aku benar-benar lemas mendengarnya.

“Lalu, apa yang harus aku lakukan?“. Dia menjawab, “kalau kereta langsung menuju London memang sudah tidak ada, tetapi anda bisa menggunakan kereta di platform tujuh, sebentar lagi datang, dan anda bisa berhenti di Banbury atau Oxford. Dari kedua kota itu, khususnya dari kota Oxford, ada banyak kereta menuju ke London“.

Alhamdulillah. Jawaban itu benar-benar melegakanku. Walaupun perjalananku agak menyita waktu lebih lama, setidaknya pengalaman tersesat di negeri Ratu Elizabeth ini pastilah tidak akan pernah aku lupakan. Akhirnya aku menaiki kereta menuju Oxford, dan lanjut menuju kota London. Dan aku berhasil sampai London sekitar pukul dua dini hari. Selanjutnya aku mempersiapkan diri berangkat ke bandara Heathrow, untuk melanjutkan perjalananku ke Jerman melalui Brussels, Belgia. Tentu aku tidak akan merasakan pengalaman seperti ini, andai aku tersesat di stasiun Bojong... [dnu]

Senin, 10 Maret 2014

Semi? Yaaa Jogging...

@Göttingen, Germany

Bismillah...
Sinar matahari yang cerah di hari ini, menggodaku untuk ber-jogging. Hangat sinaran lembutnya, mampu sedikit menghalau dinginnya udara kota Göttingen. Ya, jelas; kembalinya musim semi ini, adalah waktu yang – kembali – tepat untukku berlari, ber-jogging. Mengelilingi kota nan bersahaja ini, menjadi salah satu aktivitas penghalau rasa penat.

Kutelusuri kota dan hutan-hutan kotanya. Kunikmati sinar matahari yang gagah. Kuhirup dalam-dalam udara segar tanpa debu, jernih tak berwarna. Tanpa terasa aku telah menembus  dan masuk ke kota (tepatnya pedesaan) lain dan keluar dari Göttingen. Pemandangan di sekitar, selama aku mengayuhkan kakiku ini, tentu membuatku tidak berhenti untuk berdecak kagum. Aku hanya menggerutu dalam hati; Indonesia, jelas lebih indah dari ini semua, namun ketika kita tidak pandai untuk menjaganya – sebagai implementasi rasa syukur kita kepada ALLAH – hilanglah semua pesona indah tersebut, tertutup kabut kegelapan. Namun mereka, yang mungkin jauh dari kata paham, telah mampu merawat pemberian ALLAH dengan sangat logis dan serius, membuat alamNYA terjaga keberlangsungannya dalam tempo yang sangat lama.

Hutan di Dalam Kota

View Pedesaan dari Kejauhan

Rumah-Rumah Sederhana, Namun Asri

Ya ALLAH, terima kasih atas indah ini semua. Dan, tetap aku lanjutkan kayuhan kakiku untuk terus berlari; walau rasa sakit pada pergelangan kakiku sedikit menggangguku, tapi jelas kuabaikan itu. Semi? Yaaa jogging..


Alhamdulillah...

Rabu, 12 Februari 2014

Kembali Semi...

@Göttingen, Germany

Bismillah...
Cuaca Eropa sudah tidak menentu, mungkin juga terjadi pada belahan bumi lainnya. Kadang menghangat, pun kadang kembali dingin; kadang mendingin, lalu tiba-tiba menghangat. Parameter pembentuk alam beserta kondisinya, semakin menampakkan dirinya; bahwa semua itu tidaklah akan mampu untuk diprediksi. Manusia – dengan kehandalan otak dan teknologinya – hanya mampu memprediksi dari sesuatu yang batasan dan parameternya jelas, batasan dan parameter yang sempit dari milyaran batas dan parameter lainnya. Sehingga, prediksi hanyalah sebuah hitungan matematis biasa, walau – kadang – memiliki kemungkinan outputnya banyak, walau membutuhkan komputer super canggih untuk meng-generate hasilnya; namun – tetap saja – prediksi hanya sebuah struktur matematika biasa yang logis dan pasti, serta dapat ditelusuri semua kemungkinannya dengan sangat nyata, karena – memang – parameternya pun telah didefinisikan secara pasti. Walau pun – juga – ada mesin yang mampu meng-generate parameter input secara otomatis dan stokastik (stokastik pada level parameter, bukan pada nilai parameter); namun, tetap saja, ribuan atau jutaan parameter tersebut, tidak akan pernah sepadan dengan jumlah parameter pembentuk alam.

Larangan untuk datang ke peramal atau paranormal, larangan untuk mengundi atau meramal nasib, larangan untuk berjudi; menjadi logis adanya dan sangat mutlak mudharatnya. Karena, tidak ada satu orang pun, dengan teknologi apa pun, dengan kemampuan otak jenis apa pun; yang mampu meramal masa depan. Karena parameter pembentuk alam, tidak akan pernah mampu dikonvesi ‘seluruhnya’ menjadi parameter dasar ramalan. Manusia – harus – memiliki batas pada akhirnya, karena manusia hanyalah makhluk yang harus berbatas. Bukan karena alam tidak terstruktur, bukan pula karena alam memiliki parameter yang berubah-ubah; alam sangat seimbang dan terstruktur serta merupakan hasil perhitungan yang Maha Cermat, alam memiliki parameter yang pasti, alam telah terbentuk atas dasar qadha dan qadarNYA; hanya saja manusia diberikan batasan untuk meng-adopt semua konstrain atau batasan atau parameter yang akan digunakan sebagai bahan ramalan; sebagai pembuktian bahwa manusia hanyalah seorang manusia...

Hmmm... Kembali, cuaca Eropa yang terasa tidak menentu tersebut, secara umum mulai menuju hangat. Berarti, musim semi telah kembali. Kembali, ALLAH menghadirkan hal indah bagiku. Kembali, inilah musim semi kedua yang aku lalui disini. Kembali, kuniatkan memacu speed kerjaku, menambah bumbu kualitas belajarku, memberi terbaik untuk kebajikan alam dan makhluk lain di bumi ini; sebagai bentuk syukurku yang – sangat – kecil ini kepada ALLAH. Terima kasih ya ALLAH...


Alhamdulillah...

Rabu, 29 Januari 2014

Inilah Salju...

@ Göttingen, Germany

Bismillah...
Inilah salju, salju kedua yang bisa aku temui di winter keduaku di Göttingen ini. Tentulah tetap mempesona, karena fenomena salju merupakan fenomena langka buat ku; bahkan, semenjak Oktober, semenjak awal waktu memasuki musim winter, si putih ini baru sekaranglah menunjukkan geliat aktivitasnya. Inilah salju, yang membuat dingin menusuk sampai ke tulang rusuk, menggigit kulit ari dan mengeringkan lapis terluar bibir setiap orang yang ada disini. Inilah salju, yang memutihkan warna setiap sudut kota ini, mempertakjub pemandangan setiap orang yang memandangnya. Inilah salju, mencium aromanya, menjadikan rongga dada merasakan kesejukan tiada tara. Inilah salju, si putih nan lembut bagai sutra, si putih yang kadang membuat roda sepeda tergelicir di kala mencair, si putih yang kadang membuat tapak sepatu membunyikan suara renyah di atas injakannya pada salju yang mengering. Inilah salju, putihnya kadang menarikku sangat dalam ke pusaran terawangku, terawang lamunan atas segala hal seputar hakikat keberadaanku di bumi ini. 

Terselimuti Putihnya Salju

Mengugurkan Dedaunannya

Bergaya di Lorong Salju

Inilah salju, untuk mengunjunginya, sengaja aku telusuri taman kota berdanau yang telah membeku di samping apartemenku ini. Inilah salju, sengaja aku kunjungi, dalam rangka aku menjepretkan kameraku, walau hanya satu atau dua kali jepretan pada hamparan putih yang tidak pernah membosankan bola mata untuk menatapnya. Berfoto, difoto, atau sekedar mencoba meluncur di atas papan luncur dan melempar-lempar bola es di hamparan putih luas nan anggun; adalah berbagai aktivitasku di sore nan membeku ini. Beberapa foto berhasil aku bidik dan aku abadikan; sebagai rangkaian usaha menggoreskan cerita kecil mengenai si putih salju ini...

Hitam Putih Terowong Salju

Hitam Putih nan Kering Kerontang

Apartemenku dari Kejauhan

Inilah salju, tetes setiap bulir halusnya semakin aku tak lupa untuk berucap syukur kepadaNYA. Terima kasih ya ALLAH, terima kasih untuk kesekian kalinya; untuk berjuta indah yang ENGKAU hadirkan untukku. Terima kasih. Inilah salju...

Alhamdulillah...

Rabu, 01 Januari 2014

Sendiri, Tetapi Sangat Ku Syukuri

@Göttingen, Germany

Bismillah...
Sendiri, tetapi sangat ku syukuri; itulah waktu yang aku habiskan di malam dan pagi hari tahun baru ini. Tidak ada yang spesial, karena – memang – tahun baru masehi tidak pernah aku anggap spesial. Hanya pergantian hari biasa, tanpa ada makna – nyata – apa-apa di dalamnya. Berbeda dengan tahun baru Hijriah, karena ada sebuah makna besar terkandung di dalamnya. Makna convert dan makna change, menjadi ilham yang sangat  penting untuk kita ejawantahkan di berkehidupan kita; karena perubahan menuju kebenaran dan perbaikan, haruslah dijaga momentumnya di setiap saat pada hela dan hembus nafas kita. Peka hati, buka mata, buka telinga, analisis dan manfaatkan akal untuk mencerna dan memahami, lalu kemudian gerakkan seluruh anggota badan ini dengan sadar untuk berubah, sebagai bukti ketertundukan kita kepada ZAT pemilik jagat ini; merupakan implementasi makna hijrah yang diusung oleh Rasul pada belasan abad yang lampau, yang terkandung pada makna tahun baru hijriah.

Namun tahun baru masehi ini, tidaklah mencerminkan apa-apa selain pesta dan hura-hura. Pesta kembang api, musik hingar-bingar, tertawa terbahak-bahak sambil menenggak minuman haram, bersenda gurau hingga malam berganti serta subuh menjelang; adalah aktivitas yang lumrah dilakukan di malam pergantian tahun baru masehi ini. Padahal, di belahan bumi lain, intimidasi akidah yang sangat luar biasa sedang terjadi. Padahal, di belahan bumi lain, ada segelintir orang yang dibunuh sadis dengan cap teroris tanpa bisa membuktikan apa-apa. Padahal, di belahan bumi lain, masih banyak anak-anak yang perutnya buncit karena busung lapar. Padahal, di belahan bumi lain, sebagian orang bersimbah darah hanya untuk mempertahankan sepetak tanahnya atau harga diri bangsa dan syariah agamanya, yang dirampas oleh sebagian orang terlaknat. Padahal...

Ya ALLAH. Aku hanya bisa mengusap dada. Karena – kadang – lantang teriakku pun tanpa suara sudah; kadang – nyaring ucapku pun tak terdengar sudah; kadang – keberadaanku pun – seperti – tidak membawa manfaat apa-apa sudah. Aku hanya bisa mengelus dada, menghela nafas sangat dalam, serta tersungkur sujud di atas sajadah tafakur, untuk mengakui beribu khilaf, dosa dan alpa yang telah aku perbuat; dengan menatap ke depan, yang hakikinya masih ada ribuan bahkan jutaan aksi yang harus aku perbuat untuk sebanyak-banyaknya kebaikan manusia dan alam; sebagai bukti syukurku. Syukur, karena ALLAH telah menetapkanku seperti ini. Terima kasih ya ALLAH...

Sendiri, tetapi sangat ku syukuri; itulah waktu yang aku habiskan di malam dan pagi hari tahun baru ini.


Alhamdulillah...