@London, United
Kingdom
Ini bukanlah penggalan cerita
di dalam salah satu bab novel yang sedang aku tulis. Tetapi mungkin saja akan
aku masukkan ke dalam salah satu bagiannya, karena pengalaman nyata ini sungguh
menggelikan, lucu, mencekam, dan juga menyeramkan. Pengalamanku menginjakkan
kaki di negeri Ratu Elizabeth saja tidak pernah aku impikan sama sekali,
apalagi sampai tersesat disana... Hahaha, ya tersesat karena salah naik kereta.
Menggelikan bukan? Lalu, menyeramkannya dimana?
Sepulang lawatanku ke dua
stadion klub sepakbola ternama yang ada di kota Manchester, sore itu aku harus
langsung kembali ke London. Kereta kencang Virgin Trains yang akan membawaku ke
London tidak ada yang langsung meluncur menuju kesana, kereta memungkinkan
harus transit terlebih dahulu di Birmingham. Disinilah cerita pengalaman langka
itu dimulai...
Karena padatnya penumpang
yang menggunakan jasa kereta kencang di musim liburan summer ini, kereta menuju Birmingham pun mengalami keterlambatan. Sesampainya
di stasiun Birmingham, hari sudah mulai gelap. Kira-kira pukul delapan malam,
dimana matahari mulai masuk ke peraduan, dan waktu maghrib musim summer pukul sembilan malam pun akan
segera tiba.
Aku – memang – agak tergesa-gesa
waktu itu. Tanpa melihat papan informasi keberangkatan kereta, karena aku pikir
waktunya sudah terlambat; aku langsung bertanya ke petugas, “kereta menuju ke
London ada di platform berapa?“.
Petugas hanya menjawab dengan tenang, “sepertinya sudah berangkat, tetapi
silahkan anda cek di platform lima“.
Tanpa berpikir lama, aku
langsung berlari menuju platform lima
dengan menuruni anak tangga berjalan. “Nah itu...“, pikirku. Kereta menuju
London masih ada. Aku langsung loncat ke dalam, dan bersamaan dengan itu pula
pintu kereta tertutup secara otomatis, dan kereta pun melaju.
Sambil sedikit menghela napas,
aku kemudian bertanya ke seorang penumpang lain di dalam kereta, hanya untuk meyakinkan
apakah kereta ini benar menuju London. “Apakah benar ini kereta menuju London?”,
tanyaku. Suprisingly, dia menjawab
dengan singkat dan padat, “no…”. “What!?”. Sekujur tubuhku terasa dingin
dan kaku. Aku hanya bisa menatap kosong.
![]() |
Stasiun yang Mencekam, Tentulah Bukan Stasiun Bojong |
“Lalu aku harus bagaimana?”.
Dengan santai, orang berparas Timur Tengah itu memberikan saran, “anda bisa
turun di stasiun berikut dan menunggu kereta untuk kembali ke stasiun
Birmingham“. Ya, itu saran yang paling masuk akal di tengah kepanikan tiada
tara. Kepanikan, karena hari sudah mulai malam. Liburan summer memungkinkan
kereta kadang berubah rute atau mengalami delay.
Selain itu juga, besok aku harus take off
dengan menggunakan pesawat pukul enam pagi. Artinya, setidaknya aku harus ada
di bandara dua jam sebelumnya. Dan satu hal lagi, ini UK bung, kalau di stasiun
Bojong aku masih bisa memberhentikan angkot atau naik ojek dan langsung tancap
gas pulang ke Bogor.
Tidak lama kemudian,
kereta sampai dan berhenti di stasiun berikutnya. Entah apa nama stasiunnya. Waktu
itu benar-benar tidak penting, yang penting aku segera naik kereta ke arah
sebaliknya di sisi rel kereta sebelahnya, dan kembali ke stasiun Birmingham.
Aku langsung meloncat keluar
kereta, dan… “Ya ALLAH dimana ini?“. Stasiun dengan hanya satu tempat
pemberhentian kecil, berada di tengah-tengah hutan belantara, dan benar-benar
sepi. “Dimana ini ya ALLAH?“, bibirku benar-benar bergetar. Untuk menunggu
kereta ke arah sebaliknya di sisi rel satunya lagi pun, aku harus melalui
tangga ke arah luar dan menaik, karena jalan akses yang lebih dekat sudah
tertutup; mungkin karena sudah menjelang malam dan sudah tidak ada penumpang,
atau – mungkin juga – memang tidak pernah ada penumpang di stasiun ini. Stasiun
ini benar-benar sepi, mencekam dan – seperti – tanpa kehidupan.
Aku harus melewati jembatan
yang cukup tinggi untuk menyebrang ke sisi rel satunya lagi. Sesampainya di
sisi rel sebelahnya, aku melihat layar informasi keberangkatan kereta. Ternyata
tidak semua kereta berhenti di stasiun ini, dan ternyata – pula – kereta yang
berhenti lewat stasiun ini baru ada 1,5 jam berikutnya.
“Ya ALLAH, apa yang harus
aku lakukan? Hapeku pun lowbat, dan aku benar-benar tidak mengenal daerah ini“,
aku bergumam dan mengadu kepadaNYA di dalam hati. Aku harus keluar dari stasiun
ini, dan mencari orang atau taxi untuk bisa kembali ke stasiun Birmingham
sesegera mungkin. Selepas keluar stasiun, masya ALLAH... Benar-benar kota mati.
Memang ada beberapa rumah, namun – sepertinya – tidak berpenghuni. Aku mencoba
berjalan menelusuri jalan aspal yang masih terlihat baru karena jarang dilewati
kendaraan, siapa tahu ada tukang mie rebus atau penjual es kelapa muda di depan.
Ah, pikiranku masih saja mengenai stasiun Bojong.
Selagi berjalan, beberapa
mobil pribadi lewat, aku mencoba untuk memberhentikannya, tapi sia-sia. Mungkin
mereka juga takut untuk memberhentikan mobilnya dan kemudian berkomunikasi
dengan orang asing di daerah mencekam seperti ini. Atau juga... Ah gak
tahulah...
Udara semakin dingin dan
malam semakin pekat. Perutku pun sudah mulai dililit usus dua belas jarinya.
Apalagi ukuran ususku lebih panjang dari ukuran usus orang lain pada umumnya, semakin
terasa kencang lilitannya di perutku ini. Selagi menunggu jadwal kereta menuju
stasiun Birmingham, aku tetap mencoba berjalan, memberhentikan mobil yang lewat,
dan mencoba untuk mencari orang untuk bisa diajak berbicara. Tetapi ternyata nihil.
Aku kembali ke stasiun,
menuruni tangga jembatan curam. Stasiun ini sungguh terasa sangat mencekam, dan
benar-benar tidak ada satu orang pun nampak batang hidungnya. Aku kembali
melihat dan membaca layar informasi keberangkatan kereta. Masya ALLAH, delay. Kereta akan tiba pukul setengah
sebelas. “Berarti, harus pukul berapa aku sampai di stasiun Birmingham? Lalu, apakah masih ada kereta menuju
London?”, aku membatin dan pikiranku menerawang sangat liar.
Di tengah stasiun
mencekam, dan benar-benar mencekam. Di tengah kegelapan malam dan dinginnya
angin Eropa. Aku hanya bisa pasrah. Dan menunggu kereta, tanpa bisa melakukan apa pun.
Akhirnya, kereta itu pun
tiba. Perjalananku masihlah panjang. Aku kembali loncat ke dalam kereta yang
membawaku kembali ke stasiun Birmingham. Setidaknya, di stasiun ini masih ada
orang, walaupun stasiunnya sudah tutup. Aku bertanya ke seseorang disana, “anda tahu
apakah masih ada kereta ke London?”. Dia menjawab, “sudah tidak ada“. Lemas. Aku benar-benar lemas mendengarnya.
“Lalu, apa yang harus aku
lakukan?“. Dia menjawab, “kalau kereta langsung menuju London memang sudah
tidak ada, tetapi anda bisa menggunakan kereta di platform tujuh, sebentar lagi datang, dan anda bisa berhenti di Banbury
atau Oxford. Dari kedua kota itu, khususnya dari kota Oxford, ada banyak kereta
menuju ke London“.
Alhamdulillah. Jawaban itu
benar-benar melegakanku. Walaupun perjalananku agak menyita waktu lebih lama, setidaknya
pengalaman tersesat di negeri Ratu Elizabeth ini pastilah tidak akan pernah aku
lupakan. Akhirnya aku menaiki kereta menuju Oxford, dan lanjut menuju kota
London. Dan aku berhasil sampai London sekitar pukul dua dini hari. Selanjutnya
aku mempersiapkan diri berangkat ke bandara Heathrow, untuk melanjutkan
perjalananku ke Jerman melalui Brussels, Belgia. Tentu aku tidak akan merasakan
pengalaman seperti ini, andai aku tersesat di stasiun Bojong... [dnu]
Alhamduillah yah pak, akhirnya tidak terjadi hal yang tidak diharapkan. salam pak, dari Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
BalasHapusYa wa'alaikumussalam....
Hapus