@Dubai, United Arab Emirates
Bismillah...
Bagi sebagian orang, tidak
ada yang spesial sama sekali dengan aktivitas yang dinamakan sarapan, sebuah
aktivitas yang – wajib – dilakukan sebelum terjun ke aktivitas lainnya. Namun
bagi sebagian orang yang lain, sarapan adalah hal yang sangat langka untuk dapat
dilakukan. Jangankan untuk sarapan, mungkin untuk makan di saat perut terasa
sangat lapar melilit sekali pun, bisa jadi tidak mampu untuk dilakukan; karena sebuah
alasan keterbatasan yang memungkinkan ia tidak mampu untuk melakukannya. Maka,
apa pun aktivitas itu, sarapan sekali pun, pastinya merupakan berkah yang tidak
terkira bagi kita semua.
Sarapan yang biasa aku lakukan merupakan
sarapan atas makanan yang cukup berat, namun bisa dikatakan sangat sederhana. Secangkir kopi atau teh atau bisa ditambah dengan air susu,
roti atau nasi atau yang lainnya yang mengandung karbohidrat, telor atau jenis
lauk pauk lainnya yang mengandung protein, that’s
it. Itu pula yang aku lakukan di pagi hari ini. Hanya saja, aku melakukannya ketika
aku transit di Dubai International
Airport, atas pejalananku dari Jakarta menuju Göttingen.
Killing time aku
lakukan, dalam waktu transit selama empat jam ini. Membaca buku Ibn Khaldun, adalah
aktivitas yang sangat mengasyikkan. Banyak pelajaran yang didapat, berlimpah ilmu
yang dapat diserap; sampai sebuah pemahaman bahwa makna hakikat tidak akan
pernah kita dapatkan tanpa analogi. Sebuah ungkapan yang begitu luar biasa,
yang hanya dapat diungkapkan oleh seorang yang memang penyerahan dirinya kepada
ALLAH merupakan penyerahan diri yang sangat total. Dimana, menuntut ilmu
tidaklah diembel-embeli apa pun, selain memang merupakan kewajibannya. Kewajiban
mengisi otak kita, sehingga proses berpikir di dalam memutuskan apa pun di
dalam berkehidupannya menjadi lebih logis dan benar adanya.
Kembali ke sarapan. Pagi ini
aku sarapan dengan meminum segelas – ukuran medium – kopi murni yang aku beli
di cafe costa. Karena aku tidak yakin
dengan kandungan jenis makanannya, aku tidak memilih makanan lainnya selain kopi,
dan itu pun hanya kopi plus air putih, tanpa milk dan tanpa cream. Lalu,
aku makan beberapa potong biskuit yang aku bawa dari Indonesia. Cukup sudah. Yang
menjadi lebih istimewa adalah bahwa aku melakukan itu semua di salah satu
bandara internasional terbesar di dunia, Dubai. Dubai international airport merupakan bandara yang sangat besar, bahkan –
mungkin – terbesar di dunia. Bandara ini dibangun di atas area seluas 3.400
hektar, memiliki kapasitas jumlah penumpang lebih dari 60 juta orang plus
jumlah pegawai yang lebih dari 50.000 orang, berat kargo yang dapat
dioperasikan lebih dari 120 juta ton, dan lebih dari 7.000 jumlah penerbangan
yang dioperasikan per minggunya (wikipedia, 2014). Bahkan, konon, kapasitas dan
kesibukan bandara ini telah mampu manyalip bandara internasional Heathrow,
London. Berjalan-jalan di koridor besarnya – khususnya terminal 3 – yang
ditemani berbagai jenis toko besar sepanjang koridor yang dioperasikan 24 jam
per harinya, adalah suasana yang cukup mencengangkan.
Aku hanya ingin katakan
disini, bahwa bersyukur tanpa henti atas apa yang kita dapat, adalah tindakan
bijak dari seorang manusia. Hanya, kita harus juga mengkaji lebih jauh makna
syukur itu sendiri. Makna yang tidak boleh disempitkan. Makna yang sebenarnya
sangat luas. Syukur hakikatnya adalah mengoptimalkan semua potensi kepemilikan
yang kita miliki, yang coba kita berikan untuk menyebarkan kebajikan kepada
sebanyak-banyaknya manusia dan alam. Maka, dengan sekilas cerita tentang
sarapan ini, bersyukurlah... [dnu]
Alhamdulillah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar