Bismillah…
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa; sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa“ (QS. Al-Baqarah[2]: 183).
Ada makna yang luar biasa di balik
perayaan lebaran kali ini. Perayaan tanpa makanan berlebih, tanpa kebersamaan –
keluarga – yang hangat, dan tanpa macet. ALLAH menakdirkanku untuk menjalankan
saum dan lebaran di Jerman. Sebuah kondisi yang tidak pernah tersiratkan sama
sekali di otak tumpulku ini. Empatiku menjadi lebih berasa – atau minimal
berusaha untuk semakin berasa; karena pemaknaan hari raya dan lebaran yang ku
lewati hari ini, aku jalankan dengan sangat sederhana.
Ada jutaan orang yang mengalami
hal yang lebih sederhana dari yang aku lewati. Bahkan, mereka menghadapi dan
menjalankan lebaran tanpa makanan sama sekali, mungkin tanpa sapa dan peluk
hangat sama sekali; dan hebatnya, kondisi seperti ini berjalan berkali-kali dan
berlangsung setiap tahunnya. Semakin terasa hebat pula (baca: miris) ketika
kita – khususnya aku – malah berbahagia dalam merayakan dan menyambut lebaran
dengan bergunung kenikmatan dan kebahagiaan, di tengah-tengah berjuta orang
yang entah kapan mereka akan menemukan makanan hanya untuk mampu bertahan hidup.
![]() |
Suasana Shalat Ied di Salah Satu Pojok Masjid Al-Iman, Göttingen |
Satu hal lagi yang aku renungi. Mengenai ayat di atas (QS. Al-Baqarah[2]: 183). Ayat yang menjadi agung pada akhirnya; karena berjuta kali pada sela berjuta kesempatan, ayat ini terus dikumandangkan, dibacakan, disampaikan dan ditausyiahkan. Berkali dan berpuluh kali bangsa Indonesia – dan dunia pada umumnya – telah menjalankan perintah agung ‘saum‘ yang menjadi perintah untuk pembuktian kadar iman seseorang; namun, secara eksponensial pula, keberangusan dan kehancuran terjadi dimana-mana. Kebobrokkan mental, dekadensi moral, penurunan kualitas berkehidupan, dan masih banyak indikator lain yang tidak mampu aku sebutkan satu per satu untuk mensyiratkan bahwa keberangusan dan kehancuran telah terjadi dimana-mana. Memang aku tidak memiliki data eksplisit atas itu semua, namun sebuah aksi pembunuhan sadis – yang terjadi – sudah menjadi cukup bahwa ada kebobrokkan mental disana. Memang aku tidak pandai menyampaikan data statistik untuk itu semua, namun sebuah indikator pencurian uang negara besar-besaran – bahkan berjama‘ah – sudah menjadi cukup bahwa ada dekadensi moral disana. Memang aku tidak sedang memegang data nyata untuk itu semua, namun manipulasi, fitnah, dan berbagai jenis aksi – maaf – bejat lainnya sudah menjadi cukup untuk menggambarkan ada penurunan kualitas berkehidupan disana.
Lantas,
apakah ada yang salah dengan ayat ini? Apakah ada kesalahan redaksi bahwa saum
menjadikan pelakunya, wilayah yang dipijaknya, negara yang didiaminya; akan
menjadi bertaqwa? Apakah – memang benar – ada yang salah dengan ayat ini? Sama sekali
tidak! Yang salah, pastilah otak kita dalam memahaminya; pastilah nalar kita
yang salah mentafsirkan; atau mungkin amal kita yang salah berpijak dan salah mengimplementasikannya.
Kita lupa, bahwa kata ‘taqwa’ yang tersurat jelas di dalam ayat itu merupakan makna
aktif (baca: bukan pasif); dimana kita sebagai subjeknya. Kita – orang-orang
yang beriman yang menjadi fokus ALLAH untuk diperintahkan saum – adalah subjek
dari kata taqwa – sebagai makna aktif – tersebut. Artinya, harus ada kesadaran,
kemauan, keinginan, niat, kekuatan usaha, berkerasnya hati dan sempurnanya
hasrat untuk bertaqwa; karena kata ‘taqwa’ adalah bermakna ‘aktif’ (berasal
dari kata waqa-yaki-wikayah berarti memelihara, menunjukkan bermakna aktif). Kondisi
taqwa bukan sim-salabim ALLAH jadikan itu, walau ALLAH memiliki kehendak mutlak
akan itu; namun taqwa adalah sebuah kondisi yang memang harus diperjuangkan dan
diusahakan – oleh kita yang telah menjalankan saum – semaksimal mungkin.
Nilai
filosofis yang terkandung pada saum, yang menjadi salah satu rukunnya islam,
dan merupakan sebuah kewajiban yang diwajibkan atas umat mukmin di tahun kedua pada
fase kedua dakwah Rasul; haruslah mampu digoreskan, dipatenkan dan dipelihara dengan
sangat sadar pada setiap langkah berkehidupan orang yang beriman (mukmin), agar
kelasnya meningkat menjadi orang islam (muslim); orang-orang yang secara
tertunduk dan patuh untuk berislam di berkehidupannya. Makna menjaga lapar,
dahaga dan setiap yang membatalkan saumnya orang-orang beriman, akan –
seharusnya dengan sadar – mampu ‘memelihara’ diri orang-orang islam untuk menjauhkan
semua hal-hal yang haram dan ‘memelihara’ sense of kepekaan sosialnya yang
sempurna. Makna menunggu dan mengatur waktu mulai dan berbuka saumnya
orang-orang beriman, akan – seharusnya dengan sadar – mampu ‘memelihara’
orang-orang islam untuk tertib, teratur, on-time dan memiliki etos kerja yang
sangat tinggi. Makna setiap harinya berlelah-lelah menjalankan saumnya
orang-orang beriman, akan – seharusnya dengan sadar – mampu ‘memelihara’ orang-orang
islam untuk menjadi pribadi-pribadi militant dan struggle di dalam
melurushunuskan kebenaran. Dan, masih ada puluhan bahkan ratusan makna tersurat
dan tersirat dari – rukun islam – saum yang harus – dengan sadar – kita pelihara
di dalam berkehidupan kita, sehingga dengan sangat logis bahwa ‘saum’nya
orang-orang beriman akan membawa makna ‘taqwa’ bagi setiap individu orang
islam.
Lebaran – kembali – menjadi momentum
diri untuk menjadi lebih baik. Lebaran – kembali – menjadi momentum umat untuk
berniat lebih lurus. Lebaran – kembali – menjadi momentum bangsa untuk sadar
lebih kuat; bahwa kita harus bertaqwa, memelihara agar bersungguh-sungguh
menjalankan semua perintahNYA – tanpa terkecuali – dan menjauhkan segala
laranganNYA – tanpa pilah-pilih. Berat memang, menanjak tentu; makanya memaknai
islam menjadi sebuah sistem yang harus digerakan secara padu dan satu, tanpa ada
pemaknaan yang sempit dan terkotak-kotak; menjadi keniscayaan yang memang harus
dijalankan dengan penuh kesadaran. Karena hakekatnya, ALLAH tidaklah akan
merubah kondisi itu, jika kita sendiri yang tidak sadar untuk merubahnya.
Semoga, ALLAH selalu memberi
kita kesempatan, memberi kita peluang, menguatkan diri kita, menyadarkan kita,
menggerakkan kita – sebagai sebuah pribadi, komunitas dan bangsa – untuk
menjadi orang-orang yang bertaqwa; karena, pada hakikatnya taqwa adalah
pilihan. Semoga pula, renungan atas makna ‘saum‘ dan ‘taqwa‘ ini dapat dipahami
dengan sangat sederhana, sesederhana aku merayakan saum dan lebaran di benua
biru ini. Atau, memang seharusnya – memaknai saum dan lebaran dengan sangat
sederhana…
Alhamdulillah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar